Senin, 05 Juli 2010

Seni Dayak Christian Mara


Kompas.Com Sabtu, 3 April 2010 | 03:41 WIB
Penulis: Agustinus Handoko
Tradisi pembuatan alat musik etnis Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat makin sepi peminat. Bahan baku yang mahal, pembuatan sulit, dan memakan waktu lama, serta rendahnya daya beli pelaku seni menjadi penyebab.
Christian Mara (43), lelaki Dayak Jangkang, tak peduli dengan segala kesulitan tersebut. Bahkan, Mara harus sering menombok karena pemesan alat musiknya tak bisa membayar penuh.
”Saya prihatin dengan perkembangan seni tradisi Dayak. Sekarang tak banyak lagi yang masih mau membuat alat musik Dayak secara lengkap. Kalau begini terus, alat musik Dayak akan punah,” tuturnya.
Mara belajar membuat alat musik Dayak secara otodidak. Pada tahun 1985, seperti tahun-tahun sebelumnya, dia bersama keluarga dan kawan-kawan sekampungnya berbondong-bondong menonton pertunjukan seni dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan RI di Kecamatan Jangkang.
Mara dan orang-orang Kampung Rosak, Desa Pisang, Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, harus berjalan kaki lebih dari enam jam menuju kantor kecamatan. Maklum, ketika itu tak ada kendaraan dan memang tidak ada jalan yang bisa dilalui kendaraan.
Pertunjukan seni memang hanya ada sekali setahun di Jangkang. Itulah satu-satunya hiburan bagi masyarakat. Tak mengherankan kalau masyarakat rela berjalan kaki untuk menonton. ”Kalau dari kampung kami belum seberapa, ada kampung lain yang warganya harus berjalan hingga dua hari untuk sampai ke kantor kecamatan,” kata Mara.
Otodidak
Di pertunjukan seni itu, Mara mulai tertarik pada alat-alat musik yang dipakai selama pertunjukan. Sepulang dari menonton pertunjukan itu, dia mulai belajar membuat sape atau gitar khas Dayak, menggunakan kayu pelai atau jelutung. ”Saya berhari-hari membelah kayu karena alat yang saya pakai hanya parang, bukan kapak,” tutur Mara. Berbekal alat musik buatannya, Mara belajar musik bersama sejumlah kawannya.
Pelajaran otodidak membuat gitar Dayak terhenti ketika Mara berhenti sekolah pada kelas IV Sekolah Dasar Pisang karena kawan-kawannya sudah lulus dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama di ibu kota kecamatan.
Berbekal tiga gantang gabah dan seekor ayam jantan, dengan jalan kaki selama dua hari karena beban yang terlalu banyak, Mara meminta kepala SMP di kecamatan agar menerimanya menjadi murid. Mara pun diterima menjadi murid SMP.
Namun, Mara yang menggebu-gebu sekolah karena bercita-cita ingin jadi tentara itu akhirnya menyerah setelah enam bulan masuk SMP dan tinggal di ibu kota kecamatan.
”Orangtua di kampung tak mampu membiayai. Saya juga sempat bekerja mengangkut kayu pada malam hari untuk ongkos sekolah, tetapi akhirnya putus asa juga, lalu saya memilih berhenti sekolah,” ujarnya.
Mara kemudian bekerja di pabrik kayu lapis di Malaysia. Dia pernah juga terdampar di Hongkong selama dua tahun setelah ikut kapal milik seorang polisi Hongkong. Di Hongkong, dia terjebak dalam rantai mafia narkotika. Ketika itu, Mara yang masih seumuran anak SMP disuruh menjadi kurir obat-obatan yang disebut tengko.
Setelah sadar hidupnya ada di jalur maut, Mara berusaha keluar dan sampailah dia di kampung halamannya tahun 1980. Pada tahun 1982, dia merantau ke Kota Pontianak karena ada penerimaan calon pegawai negeri sipil di Bandara Supadio, Pontianak. Hanya berbekal surat lulus dari SD yang ditandatangani oleh gurunya, upayanya mencari pekerjaan di jalur birokrasi itu pun gagal.
Membuat sanggar
Mara bersama sejumlah kawan kemudian bermain musik di Pontianak dan membuat sanggar pada tahun 1986.
”Sanggar itu termasuk yang menjadi embrio lahirnya sanggar-sanggar seni lainnya di Pontianak. Ketika itu, kami masih pinjam alat musik dari mana saja untuk pentas,” kata Mara. Sanggarnya diberi nama Bengkawan, mengambil nama gunung tertinggi di kampungnya.
Dari desakan ketiadaan alat musik itu, Mara kemudian kembali belajar membuat alat-alat musik etnis Dayak dan Melayu. Bakat membuat alat musik etnis itu rupanya memang salah satu kelebihan Mara. ”Saya juga heran, tak terlalu sulit saya belajar membuat alat-alat musik yang kami butuhkan,” ujarnya.
Sejak saat itu, Mara menjadi pembuat alat-alat musik Dayak, juga alat musik gambus khas melayu. Alat-alat musik Dayak yang dibuat Mara adalah ketobong (kendang panjang), sobang (bedug), sape, seruling, gong, kenong, saron, dan bansilabu (semacam seruling yang dibuat dari tangkai labu).
Tak hanya mahir membuat alat musik, dia yang memang memiliki bakat seni itu juga cekatan menciptakan tarian-tarian dari hasil kreasi tarian Dayak. Di sanggarnya, Mara juga sekaligus menjadi penari.
Dibajak
Selain itu, Mara juga menciptakan lagu-lagu daerah Dayak. Sudah delapan album Dayak yang dihasilkannya. Padahal, Mara mengaku tak mahir mengucapkan notasi solmisasi.
”Saya buat lagu dengan membuat ceritanya dahulu. Setelah itu baru saya kasih nadanya. Saya dengarkan lagi, kalau ada nada yang tidak tepat dengan ceritanya, baru saya perbaiki,” ujarnya.
Mara yang masih menunggu proses penyelesaian album Dayak yang ke-9 mengaku kelelahan melawan pembajakan musik. ”Saya hampir-hampir menyerah melawan pembajakan. Pernah suatu ketika saya bakar kaset-kaset saya. Bayangkan, saya yang punya album baru membawa 500 kaset dari album baru ketika pertunjukan, di pasaran sudah ribuan kaset bajakan yang beredar,” tuturnya.
Berbekal kemahiran menari dan bermain musik, seniman Dayak itu sudah beberapa kali pentas di Malaysia dan Brunei. Beberapa bulan lalu, dia juga pentas di Australia dalam sebuah lawatan budaya.
Kini, Mara menghabiskan waktu untuk membuat alat musik dan mencipta lagu di rumahnya di Kampung Wonodadi, Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Satu set alat musik Dayak yang dibuat Mara sebetulnya harus dihargai sekitar Rp 20 juta jika menghitung biaya bahan, waktu, kerumitan, dan tenaga yang dibutuhkan.
”Namun, kalaupun dijual Rp 10 juta, tak banyak yang bisa membeli. Ya, mau apa lagi, karena hanya dengan membuat alat musik inilah saya bisa melestarikan budaya Dayak. Saya rela menjual alat musik ini sesuai kemampuan pemesan,” kata Mara.
CHRISTIAN MARA
• Lahir: Sanggau, 21 Juli 1967
• Pendidikan: Kelas IV Sekolah Dasar Pisang
• Pekerjaan: Seniman • Istri: Bega (35)
• Anak: David Fernandes (16), Kinshan Sures (13)
• Karya: - Tari: kendang alu, enggang, tengkawang, beberapa tarian anak - Lagu: delapan album
• Penghargaan: Anugerah Kebudayaan 2009 dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pelestari dan Pengembangan Budaya.

2 komentar:

  1. onya jongkang selalu midop & sukses
    majukan seni budaya jongkang ke tingkat nasional & internasional,kek ponompa selalu mendukung.amin GBU

    BalasHapus
  2. kebudayaan adalah identitas dari satu kelompok atau suku oleh karena itu jgn hilangkan budaya itu. kami berterima kasih kepada bpk/ibu/sdr/i yg membuat blog ini, dengan adanya blog ini kami mendapat informasi/pengetahuan tentang adat budaya suku kami sendiri yang selama ini kian hari kian mengabur. kami berharap terus berkarya

    BalasHapus