Kamis, 08 Juli 2010

Dayak Jangkang


Gambaran orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunters); hanyalah kenangan masa lalu. Labeling sebagai suku bangsa primitif dan sejumlah stereotype miring, tinggal cerita.
Dayak Jangkang adalah salah satu Land Dayak yang menuturkan dialek Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi "Djo" di kencah dunia linguistik ini masih, dan akan tetap, aksis.

Seiring modrenisasi dan pembangunan, etnis Dayak masuk dalam peradapan baru. Tua muda, laki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna, mobil, dan motor sudah jadi hal biasa bagi mereka. pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk, bahkan mempengaruhi, peradaban dan cara hidup mereka. Ini membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.

Diimbuni sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef van Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon. Institut v.d Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tetapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik mereka dalam Perang Manjang Desa, Filosofi di balik "Ngayau" dan tradisi "Mangkok Merah". Perjanjian "Tumbang Anoi" antara Dayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam pemilu 1955, serta mengupas tuntas akar dan sumber konflik eknik di Kalimantan Barat.

Inilah buku pertama yang membahas etnis Dayak dari pendekatan semiotika Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dan hubungannya dengan penanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Buku ini membatu siapa saja untuk memahami cara hidup dan cara berada etnis Dayak, selain memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar clash sosial, potensi konflik, dan pendekatan baru untuk mengatasinya.

Senin, 05 Juli 2010

peresmian gereja St. Perawan Maria Diangkat ke Surga, Paroki Jangkang

Ditulis oleh Abdul Khoir/Sukardi Jumat, 21 Mei 2010

Membangun Masyarakat Mulai dari Iman


Membangun masyarakat mulai dengan keimanan adalah salah satu bentuk upaya suatu desa untuk mulai mandiri dalam memajukan daerahnya. Hal tersebut disampaikan Wakil Bupati Sanggau pada peresmian gereja St. Perawan Maria Diangkat ke Surga, Paroki Jangkang pada Sabtu, (15/5) belum lama ini. Wakil Bupati Sanggau Poulus Hadi, S.IP selaku pemerintah daerah telah menyambut baik terhadap keinginanan masyarakat untuk memiliki sebuah gereja dengan semangat swadaya masyarakat dan menumbuhkan semangat gotong royong.

Membangun desa perlunya perencanaan yang baik serta kerja sama antar masyarakat. Membangun desa yang maju dan mandiri merupakan keinginan bersama karna jika pemerintahan desa kuat maka pemerintahan daerah secara otomatis juga akan kuat hal lain mengenai pembangunan sumber daya manusia dan pembinaan iman serta melestarikan budaya adat.

“Pemerintah daerah dalam hal ini sangat mendukung dan mensuport agar SDM juga keimanan masyarakat semakin meningkat serta budaya adat tetap terlestarikan sepanjang masa,” ujar Wakil Bupati Sanggau.

Ditambahkan wakil Bupati bahwa pengertian gereja yang sebenarnya adalah para umat itu sendiri sedangkan bangunan gereja merupakan sarana tempat untuk berkomunikasi antara para umat dengan sang penciptanya. Selain rajin ke gereja umat juga harus mengalami kehadiran Tuhan dalam dirinya dan keluarganya dalam membina bahtera rumah tangga yang penuh cinta kasih dan harmonis, dan bukan dengan telah berdirinya sebuah bangunan geraje hanya menjadi symbolsaja tanpa dimanfaatkan.

Pemberkatan dan Peresmian Gereja oleh Uskup Sanggau Mgr.Julius
Mencuccini,Cp. Sedangkan pembukaan Plang Nama Gereja oleh Wakil Bupati
Sanggau Poulus hadi,S.IP dan pengguntingan pita gereja oleh Ny.Arita Apolina
Poulus Hadi. acara dihadiri oleh para pastor dan Suster, OMK, beberapa
kepala SKPD dilingkungan Pemerintahan Kabupaten, muspika kecamatan, tokoh
agama, adat, masyarakat serta para umat Kristiani Kecamatan Jangkang.

Uskup Sanggau Mgr. Julius Mencuccini, Cp menyampaikan dengan kehadiran gereja
agar dapat menumbuhakan iman para umat. Gereja yang berciri khas
budaya masyarakat setempat ini merupakan salah satu bentuk bahwa di Paroki
Jangkang iman masyarakat mulai bertumbuh dan diharapkan juga agar masyarakat
dapat menjaga serta memelihara tempat ibadah tersebut dan dapat menjadi batu
hidup di tengah masyarakat.

Camat Jangkang Joni Irwanto, S.IP mengatakan bahwa dengan kebersamaan kit
dapat membangun apa yang menjadikan keinginan kita bersama selain itu kita
juga harus dapat menjadi agen perubahan di daerah kita.

“Mengenai bangunan gereja yang telah diresmikan, itu menunjukan bahwa
kekompakan para umat kristiani untuk membangun diri dan keluarganya dibidang
rohani telah mulai bertumbuh dan untuk kedepan perlunya kita persatukan
pembangunan mental serta spiritual juga yang lainnya,” ujar Joni.

Kamang Grup

KAMANG adalah akronim dari Kumpulan Muda/i Jangkang (jangkang adalah nama kecamatan atau suku dayak yang berada di Kab. Sanggau Kalimatan Barat) yang didirikan oleh pemuda jangkang yang berada di pontianak. adapun Visi dari KAMANG adalah Wadah bagi muda/I dayak jangkang untuk mengembangkan diri menjadi pemuda yang kreatif, inovatif dan terdepan. awal dari pendirian kumpulan ini bermula dari acara kumpul-kumpul namun karena keinginan yang besar dari para pemuda untuk lebih mengembangkan diri maka terbentuklah KAMANG.
Penulis alfeus s. Lohin

Asal Usul Dayak Jangkang

Asal usul dayak jangkang tidak di ketahui secara persisis, namun berdasarkan cerita yang dituturkan oleh Simplisius Sim (ketua sanggar Bengkawan) dan C. Mara mengatakan bahwa suku dayak jangkang berasal dari tembawang tampun juah/rungkap tuba (terletak di kecamatan balai karangan kabupaten sanggau propinsi Kalimantan barat). Dahulu kehidupan masyarakat dayak terkenal ulung dalam berburu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Karena kegiatan ini dilakukan secara terus menerus sehingga binatang-binatang yang ada di sekeliling tempat tinggal mereka menjadi semakin punah dan sulit lagi untuk didapatkan. Melihat hal ini beberapa orang dari mereka mencari tempat buruan yang baru, dan hal ini terjadi secara terus menerus sehingga salah satu kelompok dari mereka ada yang sampai ke tembawang tayu yang terletak di kaki gunung begkawan yang sekarang menjadi kecamatan jangkang kabupaten sanggau. Di situ mereka melihat banyak hewan buruan namun daerah tersebut jauh dari kampung mereka sehingga sebagian dari mereka ada yang mengambil keputusan untuk menetap di situ dan membuat pondok di situ (setelah selang beberapa lama mereka kembali ke kampung untuk mengajak sanak keluarga dan orang kampung yang ingin pindah ke tempat yang baru) selain itu ada pula yang mengambil keputusan untuk mencari daerah lain.
Dari Tayu mereka pindah ke kobang dan dari kobang mereka pindah ke songokng namun di songokng mereka harus beradap tasi dengan hantu-hantu yang mendiami daerah tersebut. Namun karena dilanda musibah mereka lalu mengadakan ritual Bosinong (ritual meminta petunjuk untuk mencari daerah baru) dan dalam suatu petunjuk yang di dapat oleh seorang pemimpin ritual tersebut menunjukkan daerah yang sekarang menjadi kampong jangkang benua.
Dalam perkembangan berikutnya setelah lama menetap di situ (tembawang tayu), tempat-tempat di sekitar tempat timggal mereka rata-rata sudah pernah di ladangi membuat beberapa orang dari mereka yang berinisiatif mencari tempat lain untuk berladang sehingga menyebarlah mereka. Di daerah baru yang mereka dapati tersebut mereka buat pondok untuk bermalam (melaman: buat pondok di ladang dan tinggal di sana dalam selang beberapa hari mereka pulang ke kampung dan setelah itu kembali lagi untuk tinggal di ladang) karena tempat tersebut jauh dari kampung dan beberapa hari sekali mereka pulang ke kampung. Karena melihat ada keluarga yang buat pondok di ladang maka ada juaga yang mau ikut sehingga lama-lama menjadi sebuah kampung. Diantaranya adalah kampung kobang (sebelum mendiami kampung kobang mereka terlebih dahulu tinggal di songokng sekarang sudah menjadi hutan) dan dari kampung kobang mereka pindah ke jangkang dan ketori. Awalnya mereka tinggal melaman (mondok di ladang/buat pondok di ladang) namun lambat laun semakin banyak dan menjadi sebuah kampung. Dari kampung yang ada tersebut mereka lalu menyebar ke berbagai daerah di kecamatan jangkang, kecamatan mukok, dan sebagian di kecamatan bonti dan kecamatan kapuas kabupaten sanggau. Dan nama jangkang mereka ambil dari nama sungai yang melinatsi kampng jangkang saat ini. Dan dari situlah asal muasal dayak jangkang.
Ditulis oleh alfeus s. Lohin

Pengalaman Pak Asep Haryono bersama SB

Dudulnya mungkin banyak yang pada terhenyak. Kagak saleh ni penari Dayak?. Ya benar memang saya (dulu) mantan penari Dayak. Nah nah mungkin pada nda percaya ya. Ya tapi inilah kenyataan.

Bermula dari ajakan teman saya satu Kampus yang bernama Ateng. Dia satu mata kuliah dulu di FKIP Untan jurusan Bahasa Inggris sekitar tahun 1990 an. Dia senang begitu melihat betapa antusiasnya saya waktu itu melihat setiap ada acara Gawai Dayak atau kegiatan seni tari yang dipentaskan di rumah Adat Betang Jl.Sutoyo itu. Ateng menawarkan saya untuk bergabung saja sebagai salah satu penari di Sanggarnya. Dari sinilah bermula cerita itu berawal. Saya resmi diterima sebagai salah satu penari muda (Junior) Sanggar Bengkawan, Dayak Jangkang Sanggau pimpinan Drs.Simplisius pada tahun 1991. Jadual latihan 1 kali dalam seminggu setiap jam 4 sore hingga selesai.

Penampilan saya yang perdana sekali, dan saya merasa senang sekali turut tampil dalam kegiatan kalender Kepariwisataan Kalimantan Barat FBBK ( Festibal Bumi Budaya Khatulistiwa) pada tahun 1993 kalaw nda salah. Wih senangnya bergabung dengan para senior lainnya. Sekarang saya sudah tidak aktif lagi karena kesibukan pekerjaan dan lain sebagainya yang tidak dapat saya ceritakan secara detil di halaman ini. Kenangan (pernah) menjadi penari Dayak mewarnai perjalanan hidup saya di Kalimantan Barat. Saya sengat senang sekali. Namun seiring dengan berjalannya sang waktu, dan saya sekarang sudah tidak lagi aktif di sanggar milik Pak Simplisius itu. Namun sesekali saya melewati Rumah Adat Betang yang terletak di Jalan Soetoyo itu. Saya seringh berjumpa dengan senior saya, Bang ODO dan Bang Christian Mara (Bang Mara). Mereka pemusik, penabuh yang hebat yang saya kenal dari Sanggar Bengkawan ini. Mereka baik dan ramah. Saya senang


Bagi rekan rekan yang pernah aktif di Sanggar BENGKAWAN pimpinan bapak Drs.Simplisius, semoga tulisan ini bisa menjadi ajang kangen dan silaturahmi kita. Apa kabar kalian semua?. Saya baik baik saja.


Kesan saya yang beberapa lama berada di Komunitas Masyarakat Dayak sangat berkesan. Dari sini saya tau bahwa kelompok masyarakat Suku Dayak sangat menjunjung tinggi kekeluargaan , kebersamaan dan sangat menghargai privasi dan integritas suku lain di Kalimantan Barat. Orang Dayak tidak usil , tidak pencemburu sosial , dan sangat loyal dengan apa yang bernama persahabatan. Saya sedikit tahu karena saya pernah tinggal dan bersosialisasi dikomunitas ini.


Sampai sekarang kenangan itu akan selalu membekas di hati, Dan setiap kali saya lewat di depan rumah Adat di Jl.Sutoyo itu selalu saya sempatkan mampir sekedar say Hi ataw mengobrol dengan para pengurus sanggar yang tetap terbina dengan baik.

Domisili Dayak Jangkang

Dayak jangkang adalah salah satu suku dayak di kabupaten sanggau yang wilayah penyebaran dan pendudukanya cukup banyak, hampir sebanding dengan dayak mualang di kabupaten sekadau dan dayak hibun di kabupaten sanggau, suku yang umunya bermukim di bagian utara kabupaten sanggau tepatnya di empat kecamatan yaitu Kec. Jangkang, Kec. Mukok dan sebagian Kec. Bonti dan kec. kapuas adalah basis dari Suku Dayak Jangkang ini. Selain itu mereka juga bermukim di antara 2 sungai besar, yaitu sungai sekayam dan sungai mengkiang (anak sungai sekayam) dan juga tersebar di beberapa daerah sungai kecil salah satunya termasuk sungai jangkang yang terdapat di kampunag jangkang benua .
sekarang orang jangkang sudah menyebar ke berbagai penjuru di indonesia diantaranya ada yang di pontianak. Di pontianak jumlah orang jangkang yang menetap di kota katulistiwa ini setiap tahunnya bertambah, baik dari kalangan mahasiswa yang ingin kuliah maupun yang ingin mencari kerja. Sehingga jika dikumpukan orang jangkang yang ada di pontianak hingga saat ini bisa menjadi satu kampung atau dua kampung.
Ada beberapa ahli yang sempat meneliti tentang suku daya ini Tapi, tak satupun yang otentik dan menyangkut seluruh sendi kehidupan masyarakat Suku Dayak Jangkang.
Ditulis oleh alfeus s. Lohin di 13:35 0 komentar

Dayak Jangkang Kalimantan Barat

Upacara tradisional yang berkaitan dengan Pertanian dan Kepercayaan, menurut masyarakat pendukung adat dan menurut masyarakat Dayak Jangkang di Kabupaten Sanggau yang dalam penelitian ini ternyata sampai sekarang masih dipergunakan kelestariannya, karena didalamnya masih banyak mengandung pengertian dan pemahaman nilai-nilai serta gagasan-gagasan vital dalam rangka pembinaan sosial budaya terhadap anggota masyarakat setempat. Masyarakat Dayak Jangkang yang terletak di Kabupaten Sanggau di Kecamatan Jangkang di Provinsi Kalimantan Barat yang pada saat ini masih melakukan Upacara Pertanian dan Kepercayaan.
Dari hasil wawancara dan informasi yang didapat oleh penulis di Kecamatan Jangkang yang terletak di Balai Sebut ternyata Upacacara Pertanian dan Kepercayaan di dalamnya banyak mengandung petunjuk-petunjuk yang penyampainnya masih, masih melalui symbol-simbol atau lambang-lambang yang berbentuk sesajen. Petunjuk-petunjuk yang masih tersimpan ini masih banyak belum diketahui selain bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian agar supaya hal tersebut dapat diketahui oleh pihak lain atau masyarakat luas, maka oleh sebab itu masyarakat selain pendukung upacara itu dapat memahaminya supaya tidak terjadi kesalah pahaman diantara masyarakat luas ( masyarakat yang ingin memahaminya atau mempelajarinya).
Ada beberapa unsure-unsur Upacara Pertanian dan Kepercayaan yang dapat kita kaji bersama untuk melestarikan tradisi yang erat kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat.
Nilai budaya yang berfunsi sebagai pedoman tertinggi, bagi kelakuan manusia yang meliputi norma-norma atau kaidah-kaidah.
Upacara tradisional Pertanian dan kepercayaan dalam penyelenggaraannya dapat dilakukan beberapa macam hal yaitu :

1. Nilai Upacara
2. Fungsi Upacara
3. Perubahan-perubahan yang terjadi
4. Pandagan masyarakat sekitarnya terhadap upacara tersebut.


4.1 Nilai Upacara
Nilai adalah sesuatu yang berhsrga, berguna, indah dan dapat memperkaya batin serta dapat menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Niali bersumber pada budi yang berfungsi mendorong mengarahkan sikap dan prilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan disamping sistem sosial dan karya. Nilai dapat dihayati atau diresapi dalam konteks kebudayaan atau sebagai kebudayaan yang absrak. Oleh sebab itu nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.
Nilai berada dalam kata hati murni. Kata hati dan pikiran suatu keyakinan kepercayaan yang bersumber dari dari berbagai sistem nilai seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1982) bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena itu suatu sitem nilai budaya biasanya sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Sistem budaya seoleh-oleh berada di luar dari di atas diri pada individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu lama berakar dalam atau jiwa mereka.
Masyarakat Suku Dayak Jangkang yang tinggal di Kecamatan Jangkang dalam melaksanakan Upacara Tradisional Pertanian dan Kepercayaan banyak mendandung nilai-nilai positip yang erat kaitannya dengan kehidupa masyarakat. Nilai positip yang dapat diambil hikmah dari penyelenggaraan ini antara lain :

4.1.1. .Nilai Religi
Upacara Tradisional Kiatannya dengan Pertanian dan Kercayaan di Kabupaten Sanggau adalah suatu kegiatan ritual diseputar kegiatan dari perladangan sampai kegiatan panen yang diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang. Menurut Kepercayaan masyarakat Jangkang bahwa untuk melakukan kegiatan perladangan sampai dengan kegiatan panen tidak dapat begitu saja dikerjakan namun perlu adanya upacara-upacara ritual. Upacara-upacacara ritual tersebut memerlukan waktu bagi masyarakat petani untuk merefleksikan kegiatan yang sudah lalu dihubungkan dengan kebesaran Sang Pencipta bagi masyarakat Dayak Jangkang menyebutnya PONOPA.
Tujuan upacara membuka perladangan bagi masyarakat Dayak Jangkang adalah supaya tanah yang dikerjakan dapat berhasil atau mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa “ AKE PONOPA “ ( Tuhan ). Sedangkan upacara panen (Gawai) bagi masyarakat Dayak Jangkang adalah sebagai Upacara syukur kepada Sang Pencipta (Tuhan) atas hasil pertanian yang telah diperoleh.
Adapun nilai religis yang terkandung dalam upacara tersebut mengambarkan bagaimana masyarakat Dayak Jangkang yang ada di Kecamatan Jangkang menempatkan Sang Pencipta (PONOPA) sebagai pusat dalam pengaturan kehidupan masyarakat Dayak Jangkang. Jadi di sini tampak jelas menurut kepercayaan masyarakat Dayak Jangkang bahwa segala apa saja yang dimulai sampai dengan memperoleh hasil atas karunia PONOPA harus mentaati tatanan adat yang telah berlaku.
Nilai religis ini terlihatlah dari adanya anggapan masyarakat Dayak Jangkang bilamana tanaman yang ditanam pertamakai tujuannya adalah agar supaya hasil pertanian yang diperoleh akan melimpah ruah dan tanaman pertanian itu tidak mendapat gangguan dari hama penyakit. Sedangkan upacara gawai (pesta padi) ini dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan maka niscaya akan mendatangkan suatu petaka.
Maksud dari malapetaka adalah menurut kepercayaan masyarakat Dayak jangkang adalah tidak akan mendapatkan rejeki atau hasil yang diperoleh tidak diberkati..
Oleh karena itu di dalam upacara pertanian dari mulai penanaman padi sampai dengan pesta hal ini merupakan tanggung jawab moral keluarga kepada (PONOPA) (Sang Pencipta) . Aspek lain dari adanya nilai relegius yang terdapat pada upacara Gawai dalam masyarakat di Kecamatan Jangkang sebagai upacara syukur untuk memenfatkan kembali hasil yang sudah disimpan. Oleh sebab itu upacara gawai merupakan inti dalam kepercayaan tradisi Gawai.

4.1.2. Nilai Kerjasama
Salah satu nilai budaya yang terkan upacara tradisional peneneman padi dan kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang adanya kerjasama diantara anggota masyarakat yang secara kerjasama bahu membagu saling kerjasama poses perladangan (penanaman padi dan upacara Gawai).

Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya nilai budaya yang berjudul Masalah-masalah pembangunan menyebutkan nilai budaya yang perlu dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai syarat pembengunan adalah nilai budaya yang mampu menanggulagi tekanan-tekanan berat berserta masalah-masalah yang ada dalam lingkungan ekonomi dan sosial budaya. Salah satu nilai budaya itu yang merupakan konsep pemerincian dan gotong royon adalah konsep yang menggap penting adanya sikap dan kepekaan untuk tidak berbuat semena-mena terhadap sesama manusia.
Nilai budaya ini menurut beliau penting untuk menanggulangi tekanan masalah kehidupan masa kini karena memungkinkan orang berkerjasama dengan sesamanya dan juga kepada bangsa lain.
Selanjutnya mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik manusia mustahil dapat mutlak berdiri sendiri tanpa bantauan dan kerjasama dengan orang lain. Kerjasama ini menimbulkan kesadaran bahwa segala yang dicapai dari kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia pada dasarnya adalah berkat bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat. Kesadaran yang demikian selanjutnya melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia dipanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik bagi orang lain dari masyarakatnya.
Semangat itu melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan keserasian dan kesinambungan dalam hubungan sosial manusia pribadi dan masyarakat perlu kerjasama.
4.1.3. Nilai Gotong Royong
Manusia adalah mahluk sosial hidup di tengah-tengah masyarakat lainnya, sehingga mereka mengembangkan bentuk kerjasama bersamanya. Mereka juga menyadari bahwa suatu pekerjaan akan terasa ringgan apabila dikerjakan bersama-sama secara bergotong royong.
Pada penyelenggaraan Upacara Pertanian dan kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang di Kabupaten Sangau dapat dilihat bentuk kerjasama dapat dilihat dalam bentuk gotong royong seperti yang dilakukan di ladang biasanya dikerjakan secara gotong royong antara keluarga petani misalnya pekerjaaan menebas dilaksanakan terlebih dahulu diareal lading kepunyaan si A setelah selesai baru mengerjakan ladang kepunyaan si B secara bergotong royong dapat dilihat pada upacara Gawai yaitu seperti menyiapkan alat-alat kesenian, mengatur dan menata tempat penyelengaraan upacara.
Begitu juga pada seksi komsumsi ada yang belanja ada yang memasak dan ada juga yang menyiapkan sesajenan dan sebagainya. Pada tahap pemotongan babi ada yang menyembelih/memotong.
Semua pekerjaan dikerjakan secara bergotong royong pada masyarakat setempat.

4.2 Fungsi Upacara
Budhisantoso berpendapat bahwa upacara tradisional yang terdapat pada masyarakat pendukungnya mengandung empat Fungsi yaitu : a. Norma Sosial
b. Pengendalian Sosial C. Media Sosial d. Pengelompokan Sosial.


4.2.1 Norma Sosial
Fungsi norma sosisl dalam upacara tradisional da;lam upacara pertanian dapat dilihat dari simbol-simbol yang bermakna positip dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma sosial yang dialami sebenarnya oleh masyarakat pendukung. Simbol-simbol tersebut biasanya terdapat pada sesajen yang telah dipersiapkan . Nilai aturan terdapat pada sesajen yang dipersiapkan. Nilai aturan dan norma-norma ini tidak hanya berfunsi untuk mengetur perilaku antara individu dan masyarakat tetapi juga mengatur hubungan manusia dangan alam lingkungan, terutama pada sesuatu hubungan manusia dengan Tuhan.
Di dalam norma atau nilai sosial yang terdapat dalam suatu upacara-upacara tradisional dengan mencerminkan asumsi apa yang baik dan boleh dilakukan dan apa saja yang tidak baik bagi yang tidak boleh dilakukan sehinga norma-norma dan nilai-nilai dapat dipakai sebagai pengendalian sosial dan pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukung upacara tradisional ini. Hal ini juga berhubungan dengan upacara Pertanian dan kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang kabupaten Sanggau.

4.2.2 Fungsi Media Sosial.
Funsi media sosial adalah sebagai obyek sikap sosial yang menghubungkan masa lampau dengan masa sekarang yang terdapat pada upacara Pertanian dan Kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang.
Upacara ini dapat dipakai untuk merekonstruksikan apa dan bagaimana yang dilakukan pada leluhurnya pada saat ini.
Upacara tradisional merupakan sarana yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan hubungan sosial atau kontak sosial diantara warga masyarakat setempat. Adapun hubungan diantaranya adalah adanya pengumpulan dana untuk keperluan melaksanakan upacara. Dengan memotong babi, ayam, kerja bakti dan sebagainya.

4.2.3 Fungsi Pengelompokan Sosial
Banyaknya masyarakat yang menyaksikan jalanya upacara yang berlangsung yaitu awal upacara sampai selesai jalannya upcara. Hal ini terlihat adanya hubungan masyarakat dengan masyarakat yang lain untuk dapat berkumpul dalam kegiatan upacara yang dilaksanakan. Ada juga yang sejumlah masyarakat yag berkerja di luar daerah atau sudah menetap di daerah lain atau sedang bersekolah di Kota pada upacara Pertanian dan Kepercayaan ini, dengan menyempatkan diri untuk untuk pulang ketempatnya untuk mengikuti aturan sekedar untuk menyaksikan jalanya upacara yang diadakan satu tahunnya satu kali. Dengan melakukan upacara ini masyarakat dapat berkumpul dengan saudara dan teman-temannya.

4.3 Perubahan Yang Terjadi
Upacara Tradisional yang berkaitan dengan Pertanian dan Kepercayaan yang dilaksanakan secara turun-temurun yag dilaksanakan oleh para leluhurnya. Apa dan bagimana yang sudah bias dilakukan oleh generasi pendahulunya sebelumnya/nenek moyang seperti itulah yang dilaksanakan sekarang ini baik cara membuka hutan, penanaman padi sampai dengan Upacara Gawai. Semua itu masih tetap dipertahankan keasliannya tidak ada salah satu unsure pun yang dikurangi. Ada juga perubahan-perubahan yang terjadi adalah perubahan ke arah yang positip dan ini tidak mengubah inti dari tata cara dari seluruh rangkaian upacara tersebut. Perubahan yang dapat dilihat di sini umumnya dalam pergelaran kesenian dulunya tidak ada tari-tarian sekarang kadang-kadang menurut kondisi keuangan yang ada/memingkinkan akan dilaksanakan Seandainya apabila kondisi keuanan tidak mencukupi maka tambahan kesenian atau musik itu juga tidak dilaksanakan, akan tetapi di;aksanakan secara sederhana tidak dihilangkan upacara tersebut.

4.4 Pandangan Masyarakat Sekitar Terhadap Penyelenggaraan Upacara.
Masyarakat Dayak Jangkang sebagai pendukung dalam Upacara Tradisional Kaitan dengan Pertanian dan Kepercayaan di Kabupaten Sanggau adalah masyarakat Dayak yang tinggal di Balai Sebut, kemudian masyarakat juga masyarakat pendatang yang berasal dari Padang.Jawa ada juga dari Suku Melayu , Masyarakat suku pendatang mereka setelah diwawancarai tentang pandangan mereka tentang penyelenggaraan Upacara tradisional Kaitannya dengan Pertanian ini rata-rata mereka menyambut baik dan tidak bertentangan dengan adat mereka. Salah satu informan dari Suku Melayu mengatakan bahwa upacara semacam ini memang perlu dilestarikan karena maksud dan tujuannya adalah tidak bertentangan dengan agama meskipun di dalam agama Islam tidak mengenal sesajen-sesajen seperti disiapkan dalam Upacara ini.
Kemudian juga diwawancarai informasi dari Suku Padang mereka memandang bahwa penyelenggaraan Upacara Tradisional Kaitannya dengan Pertanian dan Kepercayaan ini baik dilaksanakan karena di dalamnya mengandung nilai-nilai yang luhur seperti goton royong dan kebersamaan yang tinggi sepeti yang dimiliki oleh bangsa Indonesia pada umumnya. Bagi mereka adat dipandang paling penting.
Kecuali pandangan dari ke dua infoman dari ke dua suku tersebut ada lagi pendatang dari Jawa yang mengatakan bahwa warganya juga setiap tahunnya mengikuti Upacara Tradisional Kaitannya dengan Pertanian, tetapi hanya berupa pesta dan diselenggarakan setelah (selasai) panen. Dari hasil wawancara dengan mereka bahwa mereka mengatakan upacara semacam ini memang harus dipertahankan. Beliau juga sangat suka/senang atas penyelenggaraan Upacara ini. Baik sebagai undangan secara pribadi, dia juga menunggu-nunggu Undangan apabila sudah mengetahui adat upacara ini, tetapi diundang juga sebaliknya. Apabila sudah lupa juga mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan para pejabat atau intasi yang terkait di desa Balai Sebut.
Dari hasil wawancara kepada beberapa informan dan keluarganya yang tinggal di Balai Sebut dia dan keluarganya tinggal di Balai Sebut sudah kurang lebih 30 tahun dan berdagang seluruh kebutuhan rumah tangga dan juga mempunyai warung makan (rumah makan) penginapan dan jasa transotasi atara desa ke Kembayan . Setelah diwawancarai tentang penyelenggaraan Upacara Gawai tersebut ia sangat menyambut baik sekali. Meskipun mereka tidak ikut dalam pelaksanaan tersebut. Bagi mereka upacara ini adalah kegiatan kampung, sebgai warga kampung/ desa yang baik , mereka juga mempunyai kesadaran dan merasa berkewajiban untuk berpartisipasi atas kelancaran kerja desa tersebut.
Dari hasilwawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekitar Desa balai Sebut yang bukan pendukung Upacara Tradisional Pertanian dan Kepercayaan ini menyambut baik dengan dilaksanakan dan dilestarikan karena upacara ini merupakan adat dan budaya luhur nenek moyang yang perlu dilestarikan/ dipertahankan oleh generasi penerusnya.
Penulis: M. Nasir, S. Sos, M. Si

Jangkang Dalam Rekam Jejak Jaman Kolonial

Senin, November 23, 2009
Oleh : R. Masri Sareb Putra

Adakah Jangkang dalam peta dunia? Terdeteksikah etnis ini dalam khasanah bahasa dan peradaban bangsa-bangsa?

Kita hampir musykil menemukan di mana posisi Jangkang sebelum merdeka dalam peta dunia. Wilayah yang mengelilingi Gunung Bengkawan itu belum terekam dalam khasanah dan pergaulan internasional.

Praktis, Jangkang hanya ada dalam satu dua wacana di masa prakemerdekaan. Yang hanya disebut sekelebat saja, ketika membahas suku-suku lain, misalnya Bidayuh, Iban, Kenyah, dan Kayan yang menjadi terkenal di mancanegara karena Sir James Brooke, “Rajah Putih Penguasa Sarawak”, yang memerintah negeri berpenduduk mayoritas Dayak itu gemar “menjual” etnis Dayak ke luar.

Lepas dari usahanya mengenalkan etnis Dayak ke luar, dan dari sana nantinya banyak etnolog dan peneliti menulis tentang Dayak, satu kelicikan Brooke patut untuk dicatat. Betapa tidak! Ia mahir menggunting dalam lipatan. Setelah membantu Sultan Brunei menumpas para pemberontak Dayak Bidayuh melawan Sultan Brunei, ia kemudian memreteli kekuasaan Sultan. Bahkan, dinobatkan menjadi raja putih bagi suku Dayak. The white king begun stealing in the Dayak’s land from here!

Pelajaran yang ditinggalkan Brooke pantas dicatat untuk kemudian disimak. Ia telah membangun dinasti di Negeri Sarawak, menerapkan nepotisme, kekuasaan dibuatnya berpusat pada satu tangan. James Brooke 27 tahun menjadi raja Sarawak (1841-1868). Ia digantikan keponakanya Charles Brooke (1868-1917), dan raja ketiga adalah Charles Vyner Brooke (1917-1941). Dengan demikian, dinasti Brooke ini berkuasa di Sarawak sampai tahun 1941.
Sir James Brooke, Si Raja Putih yang "menjajah" Negeri Dayak.

Karl Helbig, salah satu cendikiawan Barat yang jadi populer karena meneliti etnis Dayak.

Selain menempel ketenaran Dayak Bidayuh, Jangkang disebut sekilas dalam catatan Karl Helbig, seorang penjelajah dan etnologist berkebangsaan Jerman yang bernama lengkap Karl Martin Alexander Helbig. Itu pun disebut sambil lalu, tatkala Helbig mengisahkan ekspedisinya melintas Borneo dari Songkong (mestinya Sungkung)sebuah tempat tinggal Dayak Sarawak yang letaknya tidak jauh dari Jangkang.

Keraton Kerajaan Sambas, populer disebut “Alwatziqubillah”, punya hubungan historis dengan Sarawak dan Brunei. Hubungan historis ini yang menjadi latar, mengapa Dayak di Malaysia sudi membantu saudaranya di Kalimantan Indonesia waktu kerusuhan Sambas.

Tidak secara telak menyebut, namun Jangkang sempat dicatat sebagai salah satu subsuku Dayak di kerajaan Sanggau yang terkenal gagah berani dalam peperangan. Merekalah headhunting yang sesungguhnya.

Dibandingkan etnis Melayu, Dayak di wilayah kerajaan Sanggau cukup menjadi perhatian para pakar antropologi budaya dan menjadi pokok kajian (objek material) ilmiah sejak zaman kolonial. H.P.A Bakker misalnya, dalam jurnal Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde volume 29 yang terbit tahun 1884, sambil menyingung mengenai sejarah Kerajaan Sanggau, sempat menyentil tentang kepercayaan dan adat istiadat penduduk setempat.

Kemudian, M.C. Schadee, Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur (Kontrolir Pamong Praja) mencatat kepercayaan suku Dayak di daerah Landak dan Tayan yang disebutnya sebagai shamanisme.

Karena Tayan merupakan asal nenek moyang Dayak Jangkang (Macan Luar alias Kek Gila), maka bolehlah ditarik kesimpulan bahwa pada masa sekitar awal abad 18, kepercayaan penduduk asli Tayan sama dengan yang kemudian dibawa ke Jangkang. Pendiri Jangkang, “Kek Gila” berasal dari Tayan.

Pada zaman kolonial, dan hingga masa pendudukan Jepang, Jangkang kurang menarik perhatian pemerintah jajahan. Hal ini karena luasnya kepulauan Borneo. Apalagi, waktu itu, Borneo belum menjadi wilayah kolonial sendiri. Dan baru pada tahun 1936 ditetapkan Ordonantie pembentukan Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost (Stbld. 1936/68). Borneo Barat menjadi daerah Karesidenan dan sebagai Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost yang pusat pemerintahannya adalah Banjarmasin.
Dua tahun kemudian, Gouvernementen van Borneo dibagi dua. Yakni Residente Zuideen en Oosterafdeling van Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Residente Westerafdeling dengan ibukotanya Pontianak.
Jangkang nan menawan terletak di kaki Gunung Bengkawan. Sejuk hawanya, segar udaranya, indah panorama alaminya.

Tiap-tiap Residente dikepalai seorang Resident dengan Besluit Gouverneur van Borneo tertanggal 10 Mei 1939 No.BB/A-I/3/Bijblad No. 14239 dan No.14239 a) Residensi Kalimantan Barat dibagi menjadi empat afdeling dan 13 onder afdeling.

Jarak Jangkang ke sebuah kota kecil tepi Sungai Mengkiang, Balai Sebut, yang kini menjadi pusat pemerintahan Kecamatan Jangkang dan paroki Jangkang, adalah 7 km.
Hingga tahun 1980, transportasi hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, sepeda, dan sepeda motor. Praktis, kontak dengan dunia luar dan pusat pemerintahan di luar daerah itu melalui sarana transportasi air yang harus dilayari dengan perahu bermotor 18-24 jam, menginap di perjalanan, dan baru diteruskan esok harinya.
Jika tidak memungkinkan, misalnya jika musim kemarau dan perahu motor terdampar di Riam Kaboja, maka perjalanan akan lebih lama lagi. Jika keadaan tidak memungkinkan, biasanya ke Sanggau orang Jangkang akan berjalan kaki. Melintasi kampung Sekantut, Parai, Jeropet, daerah Jungur Tanjung, Entakai, hingga masuk kota Sanggau.

Meski cukup jauh dari Jangkang, Sungai Mengkiang boleh dikatakan sangat strategis karena beberapa hal.

Pertama, sungai yang juga sering disebut Moncangk itu memberikan kehidupan bagi penduduk karena ikannya berlimpah dan terkenal lezat. Lais, baong, tuman, tapah, dan seluang merupakan ikan kegemaran. Orang Jangkang sering mencari ikan di sungai ini, bersama-sama dengan orang Melayu Balai Sebut, tapi tidak pernah berkelahi soal tempat. Bahkan, ada semacam kesepakatan di antara mereka tidak boleh mengambil ikan yang masuk alat penangkap ikan berupa pukat, tajor, kail, ijap, tabent, kolabant.

Kedua, Sungai Mengkiang menjadi strategis karena posisi muaranya yang jatuh tepat di Sungai Sekayam, letaknya tidak jauh dari kota Sanggau di mana Sungai Sekayam bermuara. Sedemikian strategisnya, sehingga Muara Mengkiang bahkan pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau ketika didirikan Dara Nante yang bersuamikan Babai Cinga.

Akan tetapi, pada zaman pemerintahan Dayang Mas, kota raja dipindahkan dari Sanggau ke Nanga (Muara) Mengkiang. Lalu kembali berpusat di Sanggau lagi pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin.

Ditengarai bahwa dari Nanga Mengkiang inilah kaum Melayu berawal dan membangun pemukiman di sepanjang pesisir Sungai Mengkiang; meski pada zaman prasejarah, sebenarnya moyangnya satu dengan Dayak. Buktinya, kebanyakan kampung/desa di pesisir Sungai Mengkiang mayoritas, bahkan ada yang seluruhnya, Melayu. Sungai Mengkiang, Balai Sebut.

Perkampungan Melayu paling hulu, dan sekarang menjadi pusat ibukota kecamatan Jangkang, adalah Balai Sebut. Tahun 1970-an, 90% warganya Melayu, sisanya Dayak, dan sebagian kecil Tionghoa sebelum etnis ini ditarik ke kota sebagai buntut dari upaya penumpasan PGRS/Paraku. Kini warga Balai Sebut separuhnya Dayak. Mereka bermukim dan mendirikan rumah-rumah agak jauh dari pantai. Ini sesuai dengan kebiasaan orang Dayak pada umumnya. Karena itu, mereka disebut “Sidak Darat” (orang darat) oleh Melayu Balai Sebut.

Dan memang demikianlah kebiasaan orang Dayak. Mereka lebih suka mendirikan perkampungan dan bermukim jauh dari tepi sungai. Itu sebabnya, para pengamat dan penulis asing menyebut mereka Land Dayak, bukan riverside, tapi upperside, karena memang senang bermukim di daratan.

Ditilik dari pola pemukiman dan persebaran penduduk, penghuni Balai Sebut adalah etnis Melayu. Miskinnya sumber-sumber dan catatan tertulis tidak cukup adekwat untuk menyimpulkan kapan etnis Melayu pertama bermukim di Balai Sebut. Tahu-tahu sudah ada etnis yang oleh Dayak Jangkang disebut “Sinan” ini bermukim di pesisir Balai Sebut yang indah karena berbentuk terusan.

Akan tetapi, sumber tertulis seperti catatan seorang misionaris asal Belanda, Herman Josef van Hulten tahun 1940-an, sudah menyebut pemukiman Melayu ini. Dengan sedikit mendeskripsikan kekurangsenangan pemimpin Melayu pada misonaris Belanda, Herman antara lain mencatat,

“...Maar weer terug naar Jangkang –tweemaal 70 km te voet, voor niks en strakjes weer opnieuw! Na een half jaar de tweede oproep; weer die 70 km afleggen. Ik sta weer voor het gebow en weer in habijt. Tientallen mensen staan te wachten. Eindelijk hoor ik duidelijk de naam Bong, burgemeester van Balai- Sebut, dus nu moet mijn naam ook volgen. Dan reoept iemand: “Pastor Herman van Jangkang”. Aller ogen zijn op mij gericht; ik ga de trap op, waar Bong al op het bankje zit en mij de plaats naast hem wordt aangewezen. De twee rechters zijn zeer vriendelijk en wensen mij n.b. in Nederlands goedemorgen, wat ik ook vriendelijk beantwoord, terwijl zij mij de hand geven. Een van de twee rechters –ze spreken nog steeds in het Nederlands—vraagt mij eerst een eed af te legen—wat gebeurt. Daarop: “Pastor Herman, vertelt U eens wat er is gebeurt... De rechter herhaale dit in het Maleis en zei erbij van nu af de Malaise taal te gebruiken, zodat de heer Bong het ook zou kunnen volgen. Nu gaf de rechter de heer Bong de gelegenheid om er iets tegenin te brengen....” (Hulten, 1983: 248-249).

Dari deskripsi mengenai Balai Sebut dan perlakuan salah satu pemimpin Melayu di pemukiman tepi sungai Mengkiang ini dapat disimpulkan bahwa ada semacam kekurangsukaan dari pihak Melayu atas kehadiran misionaris asing di Jangkang. Tidak semua, namun hanya sebagian.

Buktinya, ketika gereja dan sekolah Jangkang pertama kali didirikan, para tukang adalah etnis Melayu Balai Sebut yang mengerjakannya. Mereka melakukan kerja bangunan yang bukan merupakan tempat ibadahnya karena keterampilan bertukang memang jagonya kaum Melayu. Keterampilan ini masih diteruskan sampai hari ini. Di sepanjang pesisir Balai Sebut dapat kita saksikan sampan, perahu motor, dan pekerjaan pembuatan kusen dan bangunan tempat tinggal yang dikuasai Melayu.

Sangat boleh jadi, kekurangsenangan pemimpin Melayu pada misionaris asing didorong oleh rasa iri hati, mengapa yang dibantu misionaris justru Dayak dan bukan Melayu? Pada waktu itu, Melayu sudah memeluk agama Islam, sedangkan Dayak pada umumnya masih menganut kepercayaan nenek moyang. Maka etnis Dayak menjadi prioritas evangelisasi.
Dengan demikian, usaha para misionaris menyebarkan syiar agama Katolik kepada etnis Dayak adalah langkah tepat. Namun, cara yang dilakukan secara persuasif, tidak arogan, apalagi memaksa. Para misionaris masuk dan menjadi bagian hidup mereka. Menjadi bagian inetegral suku Dayak, berpola hidup, berperilaku, maupun berpikiran secara mereka pula. Itulah yang dilakukan misionaris asing, seperti Herman. Dalam istilah filsafat antropologi, para misionaris asing melakukan akulturasi dan adaptasi.

Menurut Bakker (1972: 48-49), akulturasi adalah usaha mentransponir ajaran, bahkan struktur-struktur Gereja dari lingkungan kebudayaan Greco-latina ke dalam alam pikiran setempat. Usaha itu merupakan perkembangan Gereja yang radikal dan menghasilkan struktur yang pluriform. Sifat pluriform mengganti sifat uniform yang nyata, lagi kokoh. Perbedaan dan differensiasi seperti sudah bukan saja tuntutan psikologis (human relation) saja seperti adaptasi, melainkan tuntutan teologis. Dalam differensiasi di antara makhluk-makhluk dinyatakan kesempurnaan Pencipta. Harta benda rahmat terlalu kaya daripada mungkin dapat dimuat dalam struktur rohani saja.

Akulturasi inilah awal proses pembribumian ajaran Katolik di antara Dayak Jangkang. Berikutnya, baru terjadi adaptasi di mana para misionaris mengomunikasikan ajaran Gereja Katolik melalui saluran-saluran kebudayaan dalam hal bahasa, sistem berpikir, pola peradaban, dan bentuk-bentuk sosial.

Corak asing semakin melemah, sedangkan kebudayaan bangsa yang didekati semakin diperkuat. Pewarta (misionaris) sekaligus ajaran yang disampaikan mengikuti kebudayaan penduduk setempat tanpa kehilangan sifat hakikinya. Inilah yang disebut adaptasi.

Option for the poor yang menjadi semangat Gereja sejak didirikan di atas Petrus, si batu karang, tetap dibawa misionaris asing ke Jangkang. Tahun 1939 umat Katolik Kobang sudah ada. Yang unik, mula-mula yang menjadi Katolik di Kobang adalah kepala kampungnya, yang digelari “Mangku”, baru kemudian diikuti rakyatnya. Mangku adalah calon temenggung yang otomatis menjalankan tugas tumenggung jika berhalangan atau bila tumenggung mangkat.

Umat Katolik Kobang tahun 1939. Pastor Ewald, “Kek Tuan” Kobang, mendirikan kapel di sini.

Sebelum nantinya berpusat di Jangkang, Ewald sebagai misionaris kerap memilih menginap di Kobang karena hawanya yang dingin, terletak di punggung bukit Bengkawan. Selain berhawa sejuk dan mirip dengan cuaca di negeri asalnya, Kobang dipilih Ewald karena kaki tangan dan tentara Jepang mengincar misionaris Kristen Barat ini. Karena lebih sering menginap di Kobang, maka Ewald digelari “Tuan Kobang”.

Di Kobang sudah berdiri rumah panjang. Ewald mendirikan kapel terpisah dari rumah panjang. Namun, beribu sayang, perpisahan umat Katolik Jangkang dengan Ewald harus terjadi karena ia diinternir Jepang ke kamp di Kuching. Umat menangis. Tiada hentinya mereka berdoa dan berharap “Kek Tuan” kembali lagi ke tengah-tengah mereka. Namun, orang yang dinantikan itu tak pernah kembali karena ia wafat di Kuching dan dimakamkan di sana.

Rumah panjang atau betang di masa-masa awal pembukaan lahan.

Mengapa misi pertama-tama memilih Kobangk, sebuah kampung Dayak di kaki bukit Bengkawan yang berpuncak setinggi 917m, dan berjarak sekitar 7 km dari Jangkang, bukan Balai Sebut sebagai pusat misi?

Pada saat misi pertama kali menginjakkan jejak di tengah Dayak Jangkang, Balai Sebut sudah mengenal agama. Lagi pula, waktu itu penduduknya mayoritas Islam.

Namun, selain Bong, banyak warga Melayu menghargai dan menghormati misionaris. Mereka menyebut “tuan pestor” (tuan pastor). Bahkan, sebelum Balai Sebut mendapat bantuan tenaga medis dari Pemerintah, sebelum tahun 1970-an, warga Melayu sering turun ke Jangkang untuk berobat pada pastor.

Biasanya, tiap-tiap hari raya keagamaan Katolik, mereka tumpah ruah ke Jangkang karena ada keramaian. Baik hiburan maupun pertandingan-pertandingan sering diadakan yang melibatkan hampir semua kampung di seluruh wilayah Paroki Jangkang.

Pada musim buah-buahan juga orang Melayu sering ke Jangkang dan Kobang. Mereka boleh memakan dan memetik buah sesuka hati. Jalinan persaudaraan Dayak-Melayu di Jangkang tetap harmonis. Sepanjang sejarah, tidak pernah ada clash di antara kedua suku.
Karena itu, Tuan Jangkang tetap menjalin dan memelihara hubungan dengan Balai Sebut. Ketika ada urusan di pusat pemerintahan Sanggau, atau tatkala verloop (cuti), para misionaris memerlukan uluran tangan warga Melayu Balai Sebut.

Orang Melayu memiliki perahu motor yang bisa disewa. Atau jika tidak, mereka mahir mengemudikannya, sangat paham liku-liku dan kedalaman sungai Mengkiang, mana alur yang berbahaya dan mana yang tidak, dan sangat mengenal titik paling kritis alur pelayaran sungai yang curam berbatu seperti riam Kaboja.

Menilik kesamaan bahasa, budaya, ditambah rekam jejak alur pelayaran, Balai Sebut merupakan pengembangan dan perluasan wilayah dari kerajaan Sanggau yang sempat berpusat di Nanga Mengkiang.

Sebelum tahun 1980-an, jalur pelayaran sungai Mengkiang menjadi satu-satunya sarana tercepat perjalanan Jangkang-Sanggau-Jangkang yang menempuh jarak sekitar 70 km. Pada waktu jam istirahat makan siang dan malam, biasanya kapal motor berhenti sebentar. Jika gelap dan malam menjelang, maka akan menginap di perjalanan.
Pada saat istirahat dan menginap itulah terjadi kontak dengan penduduk pesisir. Yang jatuh hati, akan menikah dengan warga setempat. Namun, karena mayoritas penduknya Melayu dan beragama Islam maka jika Dayak kawin dengan gadis Melayu ia menjadi Islam dan dikatakan “torojunt kok aik” (mencebur ke sungai). Sebaliknya, jika gadis Melayu kawin dengan Dayak atau pria Melayu kawin dengan gadis Dayak dan mau tinggal bersama orang Dayak, ia disebut “naingk kak darat” (naik ke darat).

Terlepas dari soal kawin-mawin di antara Dayak-Melayu, di wilayah Jangkang ada satu fenomenon menarik. Kedua suku mengikatkan tali persaudaraan dan saling menghormati layaknya saudara sedarah saja. Jika mengikatkan diri sebagai saudara, maka keluarga Dayak dan Melayu menyebut masing-masing dengan dompu. Karena itu, bodompu berarti bersaudara. Mereka saling mengunjungi jika ada hajatan dan hari raya, saling menolong, dan berbagi suka duka layaknya saudara sedarah.

Yang menarik, meski pada awal mula kerajaan Sanggau didirikan oleh bangsawan Melayu dan diteruskan ahliwaris dan putra mahkota Melayu pula, namun “raja” terakhirnya justru orang Dayak. Wasiat Sultan Muhammad Jamaluddin sebelum mangkat, agar penggantinya kelak adalah putra mahkota tetap dipegang teguh.

Demikianlah, meski sempat terjadi friksi dengan Sultan Akhmad Kamaruddin, adik Sultan Muhammad Jamaluddin, dinobatkanlah Abang Taberani yang bergelar Pangeran Ratu Suryanegara menjadi raja kerajaan Sanggau.

Suksesi kerajaan terus berlangsung hingga pemangku kekuasaan kerajaan Sanggau jatuh pada Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara (1814-1825). Lalu, jatuh lagi ke tangan Sultan Ayub Paku Negara (1825-1830) yang, pada saat pemerintahannya, mendirikan Masjid Jami di pusat kerajaan Sanggau.

Sejarah kerajaan Sanggau unik. Barangkali sulit menemukan duanya di dunia. Kerajaan yang diawali dan didirikan bangsawan Melayu sejak zaman kolonial, dan masih berlangsung hingga zaman peralihan, akhirnya ditutup oleh “raja” dari keturunan Dayak.

Sejarah kerajaan Sanggau mencatat Panembahan Gusti Ali Akbar memerintah dari 1944-1956. Sayangnya, kurang beruntung bagi Gusti Ali Akbar, sebab pada saat pemerintahannya beliau diintervensi kekuasaan asing yang ditandai dengan dikirimkannya oleh Belanda Asisten Residennya bernama Riekerk. Dengan segera, Riekerk menjalankan politik divide et impera . Tindakan pertama yang dilakukannya ialah menurunkan Gusti Ali Akbar dari tahta kerajaan. Dan pada saat bersamaan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Thaufig sebagai panembah yang memerintah hingga penyerahan swapraja.

Swapraja terakhir dipimpin Uray Mohamad Johan. Pada saat inilah terjadi penyerahan pemerintahan Swapraja Sanggau ke tangan M.Th. Djaman, seorang Dayak, selaku Kepala Daerah Swatantra Tk. II Sanggau pada tanggal 2 Mei 1960. Penyerahan ini, sekaligus menandai berakhirnya era kerajaan Sanggau dan nantinya ganti menjadi ibukota Kabupaten Sanggau.

Pelestari Gong yang Diminati Negara Tetangga

TAK banyak pekerja seni di Kalimantan Barat yang mempunyai keahlian khusus membuat gong. Christian Mara, salah satunya. Kemasyhuran gong karya pria kelahiran Desa Resak, Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau ini hingga terdengar ke negeri tetangga. Bahkan oleh Thailand, Christian Mara ingin ’dibajak’ untuk menunjang salah satu ikon pariwisata negeri Gajah Putih ini yakni Pantai Phuket.


SUARA benturan logam itu terdengar hingga beberapa meter jauhnya. Masih berbunyi cempreng. Belum menggelegar. Di perkarangan rumahnya yang terletak di Gang Ringin Sari I Jalan Arteri Supadio Kabupaten Kubu Raya itulah menjadi ‘pabrik’ pembuatan gong Christian Mara.

Hari itu, Kamis (10/4), pria yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas V SD ini sedang membuat gong pesanan salah satu sanggar kesenian di Batang Tarang. Ia hanya bekerja sendiri. Tangannya terampil memalu logam kalvanis.

Sambil memalu, indra pendengaran Mara juga ikut bermain. Menangkap setiap getaran bunyi yang keluar dari logam itu. Ia berkonsentrasi mencari nada. Gelombang suara itu akan diolahnya. Hingga membentuk suara yang menggelegar. Suara itulah kelak yang diinginkannya.

”Ini pesanan sanggar kesenian dari Batang Tarang. Mereka minta buatkan gong bobonih/boneh. Gong ini suaranya terbuka. Menggelegar seperti guntur,” kata Mara.

Kesendirian Mara dalam membuat gong bukannya tidak beralasan. Ia mengaku kesulitan mencari tenaga terampil. Butuh orang-orang yang juga pandai mencari suara, peka terhadap bebunyian, dan mahir dalam merasakan getaran. Menurutnya, keahlian khusus itulah yang diperlukan bagi pembuat gong.

Menjadi bisa, bukan berarti harus belajar secara khusus. Mara contohnya. Keahlian membuat gong didapatkannya dengan jalan otodidak. Mencoba dan mencoba. Tidak patah arang ketika gagal dalam mencoba. ”Tidak ada belajar secara khusus,” katanya.

Ada beberapa bagian yang menurut Mara mempunyai kesulitan yang berbeda saat membuat gong. Bagian-bagian itulah yang akan membuat suara alat musik itu menjadi bergema.

Bagian cekung dari gong itu disebut gelombang suara. Sedangkan di sisi gong yang menjadi bingkai alat musik itu bertugas sebagai tabung suara. Sementara bagian bulat menonjol, yang menjadi sasaran pukulan, disebut sebagai pelempar suara. Bagian lainnya, yang terletak di antara pelempar dan gelombang suara bertugas untuk menyimpan suara.

Untuk mencari nada yang diinginkan dari gong, bagian-bagian itulah yang dimodifikasi Mara. Insting, pengalaman, diramu bakatlah yang mengelolanya.

Campuran intan

Menurut Mara, gong yang biasa dimainkan oleh masyarakat Dayak atau Melayu di Kalbar, pada umumnya tidak terdapat perbedaan yang mencolok. ”Untuk suara umumnya menggunakan gong dengan bunyi menggelegar. Lain dengan gong dari Jawa. Bunyinya tidak terlalu menggelar,” terangnya.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak, gong banyak menyimpan arti. Gong menjadi salah satu bagian untuk mencipta musik yang menjadi sarana penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada yang berkuasa, baik terhadap roh-roh maupun manusia biasa. Selain itu gong juga digunakan untuk mengiringi bermacam-macam tarian adat maupun upacara ritual.

Gong Boneh misalnya. Kata Mara, alat musik ini juga digunakan dalam upacara adat Notongk, upacara penghormatan terhadap abak (tengkorak manusia) yang ada pada masa mengayau/bekayau atau ngayau/kayau. “Gong ini suaranya neriu. Tiga dimensi, pengantar, dalam, dan gema. Suaranya tegas. Jika dibunyikan di kampung, jarak tiga jam kita berjalan, suaranya masih kedengaran,” ujarnya.

Jenis gong lainnya yang terkenal yakni gong tama’. Menurut Mara, gong tama’ Kalbar peninggalan zaman nenek moyang, kini diburu oleh beberapa museum dari negeri Malaysia dan Hongkong dengan kisaran harga ratusan juta rupiah. Mengapa gong tersebut begitu beharganya?

“Di bagian tempat penyimpan suara itu ada emasnya. Sedangkan di bagian pelempar suara, ada campuran intan. Masyarakat Dayak pedalaman Kalbar masih ada yang menyimpan gong ini,” katanya.

Ada sejarah mengiringi keberadaan gong ini. Mara bercerita, dahulu kala gong ini digunakan oleh masyarakat Dayak untuk upacara ritual bagi pasangan yang ingin memiliki keturunan.

Pembuat Sape’

Naiknya harga besi ikut memengaruhi kreasi Christian Mara dalam penciptaan gong. “Saya juga terbentur modal,” akunya. Menurut Christian, selain dari logam kalvanis, bahan lainnya yang sangat bagus untuk membuat alat musik pukul tersebut yakni dari tembaga merah. “Harganya sangat mahal dan bahannya susah didapat. Tapi gong dari logam ini suaranya sangat bagus,” katanya.

Satu buah gong dengan ukuran sekitar satu meter, Christian bisa menghabiskan waktu selama seminggu untuk menciptakannya. Ia biasanya menjual alat musik ini per set. Satu setnya dia tawarkan dengan harga Rp9,5 juta.


Satu set alat musik tersebut juga diantaranya terdiri dari kenong, ketobong, sape’, dan sangsarut. Konsumennya banyak dari sanggar-sanggar kesenian di Kalbar hingga Pulau Jawa. “Bahkan dari Keraton Solo juga ada yang mesan dengan saya,” katanya.

Suami dari Mega dan ayah dari David Fernandes dan Kinsan Sures ini termasuk piawai dalam membuat alat musik tradisional lainnya. Ia pandai membuat beduk dan jago membuat sape’.

Khusus untuk sape’, sejenis gitar dengan dawai berjumlah 3 atau 4 yang biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak, Mara sudah terlatih membuatnya jauh sebelum dia mengenal cara membikin gong. “Kalau gong saya mulai membuatnya tahun 90-an, tapi kalau sape’ dari saya kecil sudah bisa membuatnya walau masih dalam bentuk aneh,” katanya.

Christian Mara juga merupakan penari tradisional Dayak, pembuat musik tradisional sekaligus memainkannya, pencipta lagu dan penyanyi yang tergabung dalam Sanggar Bengkawan.

Mengajar di Sibu

Keahliannya dalam kesenian tradisional ini mengantarkannya menjadi pelatih musik di Sanggar Sri Kelayang, Sibu, Malaysia selama dua tahun. Saat merantau ke negeri seberang itu, Mara lebih fokus pada kesenian Melayu. Bahkan dia mengajar murid-murid Malaysia, dari sekolah ke sekolah untuk belajar kesenian tradisional itu.

Di sana, dia banyak berteman dengan orang-orang yang secara khusus berkecimpung di dunia seni. Akademisi yang bergelar profesor seni pun menjadi sahabat karibnya. Penghargaan akan kesenian tradisional dan mempertahankan khasanah budaya bangsa begitu diperhatikan oleh pemerintah negara tetangga.

Secara khusus, dia juga menerima tawaran dari salah satu universitas kesenian di Thailand. “Mereka minta saya membikin alat musik tradisional sekaligus mendemontrasikannya di Pantai Phuket Thailand. Saya diharuskan membikin alat musik di sana dan disediakan tempat. Itu salah satu cara untuk memikat wisatawan. Tawaran itu tidak langsung saya iyakan karena akan tinggal di sana dalam jangka waktu lama,” katanya.

Menularkan ke generasi muda

Bersama rekan-rekan pekerja dan peminat seni budaya Kalbar lainnya, Christia Mara juga bergabung dalam wadah Majelis Budaya dan Seni Tradisi Terapan (Madyastrad) Kalbar pimpinan Mul’am Husairi.

Wadah ini membawa misi. Menggali tradisi budaya dan kesenian apa saja yang ada di Kalbar. Sasaran utama lembaga ini adalah melakukan pendidikan budaya dan seni tradisional Kalbar pada generasi muda. “Kita ingin agar generasi muda mengenal kebudayaannya. Mudah-mudahan ada respon dari pemerintah kita,” katanya.

Mengutip pernyataan Mul’am Husairi saat konfrensi pers pembentukan Madyastrad Kalbar pada awal Maret lalu di Hotel Santika, “Anak-anak muda kita kenal dengan alat-alat band saja, mungkin tak terlalu banyak yang bisa bermain sape’. Nah, harus ada peran semua pihak agar generasi muda kita juga tidak lupa dengan alat musik tradisional daerah kita.” (**)

Seni Dayak Christian Mara


Kompas.Com Sabtu, 3 April 2010 | 03:41 WIB
Penulis: Agustinus Handoko
Tradisi pembuatan alat musik etnis Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat makin sepi peminat. Bahan baku yang mahal, pembuatan sulit, dan memakan waktu lama, serta rendahnya daya beli pelaku seni menjadi penyebab.
Christian Mara (43), lelaki Dayak Jangkang, tak peduli dengan segala kesulitan tersebut. Bahkan, Mara harus sering menombok karena pemesan alat musiknya tak bisa membayar penuh.
”Saya prihatin dengan perkembangan seni tradisi Dayak. Sekarang tak banyak lagi yang masih mau membuat alat musik Dayak secara lengkap. Kalau begini terus, alat musik Dayak akan punah,” tuturnya.
Mara belajar membuat alat musik Dayak secara otodidak. Pada tahun 1985, seperti tahun-tahun sebelumnya, dia bersama keluarga dan kawan-kawan sekampungnya berbondong-bondong menonton pertunjukan seni dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan RI di Kecamatan Jangkang.
Mara dan orang-orang Kampung Rosak, Desa Pisang, Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, harus berjalan kaki lebih dari enam jam menuju kantor kecamatan. Maklum, ketika itu tak ada kendaraan dan memang tidak ada jalan yang bisa dilalui kendaraan.
Pertunjukan seni memang hanya ada sekali setahun di Jangkang. Itulah satu-satunya hiburan bagi masyarakat. Tak mengherankan kalau masyarakat rela berjalan kaki untuk menonton. ”Kalau dari kampung kami belum seberapa, ada kampung lain yang warganya harus berjalan hingga dua hari untuk sampai ke kantor kecamatan,” kata Mara.
Otodidak
Di pertunjukan seni itu, Mara mulai tertarik pada alat-alat musik yang dipakai selama pertunjukan. Sepulang dari menonton pertunjukan itu, dia mulai belajar membuat sape atau gitar khas Dayak, menggunakan kayu pelai atau jelutung. ”Saya berhari-hari membelah kayu karena alat yang saya pakai hanya parang, bukan kapak,” tutur Mara. Berbekal alat musik buatannya, Mara belajar musik bersama sejumlah kawannya.
Pelajaran otodidak membuat gitar Dayak terhenti ketika Mara berhenti sekolah pada kelas IV Sekolah Dasar Pisang karena kawan-kawannya sudah lulus dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama di ibu kota kecamatan.
Berbekal tiga gantang gabah dan seekor ayam jantan, dengan jalan kaki selama dua hari karena beban yang terlalu banyak, Mara meminta kepala SMP di kecamatan agar menerimanya menjadi murid. Mara pun diterima menjadi murid SMP.
Namun, Mara yang menggebu-gebu sekolah karena bercita-cita ingin jadi tentara itu akhirnya menyerah setelah enam bulan masuk SMP dan tinggal di ibu kota kecamatan.
”Orangtua di kampung tak mampu membiayai. Saya juga sempat bekerja mengangkut kayu pada malam hari untuk ongkos sekolah, tetapi akhirnya putus asa juga, lalu saya memilih berhenti sekolah,” ujarnya.
Mara kemudian bekerja di pabrik kayu lapis di Malaysia. Dia pernah juga terdampar di Hongkong selama dua tahun setelah ikut kapal milik seorang polisi Hongkong. Di Hongkong, dia terjebak dalam rantai mafia narkotika. Ketika itu, Mara yang masih seumuran anak SMP disuruh menjadi kurir obat-obatan yang disebut tengko.
Setelah sadar hidupnya ada di jalur maut, Mara berusaha keluar dan sampailah dia di kampung halamannya tahun 1980. Pada tahun 1982, dia merantau ke Kota Pontianak karena ada penerimaan calon pegawai negeri sipil di Bandara Supadio, Pontianak. Hanya berbekal surat lulus dari SD yang ditandatangani oleh gurunya, upayanya mencari pekerjaan di jalur birokrasi itu pun gagal.
Membuat sanggar
Mara bersama sejumlah kawan kemudian bermain musik di Pontianak dan membuat sanggar pada tahun 1986.
”Sanggar itu termasuk yang menjadi embrio lahirnya sanggar-sanggar seni lainnya di Pontianak. Ketika itu, kami masih pinjam alat musik dari mana saja untuk pentas,” kata Mara. Sanggarnya diberi nama Bengkawan, mengambil nama gunung tertinggi di kampungnya.
Dari desakan ketiadaan alat musik itu, Mara kemudian kembali belajar membuat alat-alat musik etnis Dayak dan Melayu. Bakat membuat alat musik etnis itu rupanya memang salah satu kelebihan Mara. ”Saya juga heran, tak terlalu sulit saya belajar membuat alat-alat musik yang kami butuhkan,” ujarnya.
Sejak saat itu, Mara menjadi pembuat alat-alat musik Dayak, juga alat musik gambus khas melayu. Alat-alat musik Dayak yang dibuat Mara adalah ketobong (kendang panjang), sobang (bedug), sape, seruling, gong, kenong, saron, dan bansilabu (semacam seruling yang dibuat dari tangkai labu).
Tak hanya mahir membuat alat musik, dia yang memang memiliki bakat seni itu juga cekatan menciptakan tarian-tarian dari hasil kreasi tarian Dayak. Di sanggarnya, Mara juga sekaligus menjadi penari.
Dibajak
Selain itu, Mara juga menciptakan lagu-lagu daerah Dayak. Sudah delapan album Dayak yang dihasilkannya. Padahal, Mara mengaku tak mahir mengucapkan notasi solmisasi.
”Saya buat lagu dengan membuat ceritanya dahulu. Setelah itu baru saya kasih nadanya. Saya dengarkan lagi, kalau ada nada yang tidak tepat dengan ceritanya, baru saya perbaiki,” ujarnya.
Mara yang masih menunggu proses penyelesaian album Dayak yang ke-9 mengaku kelelahan melawan pembajakan musik. ”Saya hampir-hampir menyerah melawan pembajakan. Pernah suatu ketika saya bakar kaset-kaset saya. Bayangkan, saya yang punya album baru membawa 500 kaset dari album baru ketika pertunjukan, di pasaran sudah ribuan kaset bajakan yang beredar,” tuturnya.
Berbekal kemahiran menari dan bermain musik, seniman Dayak itu sudah beberapa kali pentas di Malaysia dan Brunei. Beberapa bulan lalu, dia juga pentas di Australia dalam sebuah lawatan budaya.
Kini, Mara menghabiskan waktu untuk membuat alat musik dan mencipta lagu di rumahnya di Kampung Wonodadi, Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Satu set alat musik Dayak yang dibuat Mara sebetulnya harus dihargai sekitar Rp 20 juta jika menghitung biaya bahan, waktu, kerumitan, dan tenaga yang dibutuhkan.
”Namun, kalaupun dijual Rp 10 juta, tak banyak yang bisa membeli. Ya, mau apa lagi, karena hanya dengan membuat alat musik inilah saya bisa melestarikan budaya Dayak. Saya rela menjual alat musik ini sesuai kemampuan pemesan,” kata Mara.
CHRISTIAN MARA
• Lahir: Sanggau, 21 Juli 1967
• Pendidikan: Kelas IV Sekolah Dasar Pisang
• Pekerjaan: Seniman • Istri: Bega (35)
• Anak: David Fernandes (16), Kinshan Sures (13)
• Karya: - Tari: kendang alu, enggang, tengkawang, beberapa tarian anak - Lagu: delapan album
• Penghargaan: Anugerah Kebudayaan 2009 dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pelestari dan Pengembangan Budaya.

Putra Jangkang

MENULIS mungkin bagi setiap orang hanya sekadar menuangkan gagasan dalam bentuk rentetan kata hingga membalur jadi satu kalimat. Tetapi tidak buat R Masri Sareb Putra. Lantaran gemar menuang ide kreatif melalui baris kata bermakna mampu menjadikan hidup berkecukupan.
Sehari-hari, Masri adalah dosen di Universitas Multi Media Nusantara (UMN) Jakarta yang termasuk dalam grup Kompas Gramedia. Namun kegemarannya menulis buku menjadikan
dia lain dibandingkan dosen yang lain.
Saat berkunjung ke kantor Sripo, Jumat (23/1), Masri mengungkapkan menulis khususnya menulis sebuah buku pun bisa kaya, paling tidak dia bisa mendapatkan honor tulisan atau royalti jika bukunya laris,” jelasnya.
“Siapa bilang, penulis tak bisa kaya?, meski bukan satu-satunya tujuan utama, nyatanya dari menulis kita bisa mengamankan periuk bahkan sebagai profesional,” tegas Masri yang pernah dipercaya sebagai penulis otobiografi politisi Sri Bintang Pamungkas dan Matori Abdul Jalil (alm) ini.
Di usianya yang masuk ke 47 tahun, sudah 42 judul buku ditulisnya. Untuk tiap 60 halaman buku kreasinya, pria yang dilahirkan di Jangkang Benua Pontianak mengaku dibayar Rp 3,5 juta. Selain itu kalau bukunya best seller tentunya akan mendapatkan royalti.
Prinsip menulis bukan bersumber dari bakat tetapi lebih kepada skill yang sifatnya bisa diasah dan dipelajari hingga menjadi sempurna dan mampu menghasilkan. Bila ditekankan sebatas bakat, tentulah sifat sekadar turun temurun saja, tanpa adanya proses pembelajaran. Justru kegemaran yang bersumber dari hobi mampu mengubah persepsi hingga pola pikir seseorang untuk maju. “Selama ini orang menganggap menulis itu bakat, padahal kalau bakat tanpa diiringi skill atau ketrampilan tentu tidak berjalan. Nah sebenarnya menulis pun bisa dipelajari,” jelas koordinator mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) UMN ini.
Selain itu kegemaran menulis tidak terbatas untuk profesi wartawan semata. Dengan menulis, bisa menjadi penyair, pencipta lagu hingga kekuatan menulis mampu menyembuhkan penyakit yang bersumber dari hati. Contoh kecil, misal kalau sedang marah, jangan langsung diluapkan. Sebaiknya simpan satu malam. Keesokan harinya tentu rasanya akan berbeda, Usai marah reda lalu tulis keluh kesah Anda dalam selembar kertas. “Nah, cara ini bisa menjadi terapi khusus pereda marah, hal ini bisa juga diterapkan untuk pasangan suami istri,” jelas pria berkulit putih sambil tersenyum simpul.
Resep khusus pun diberikan mantan wartawan UCA News. “Jangan berpikir menulis secara benar dulu tapi buatlah gaya menulis seperti Anda berbicara, jadi lepas saja luapkan apa yang ada dalam pikiran, lambat laun tentu akan memberikan taste yang berbeda hingga mampu menjadi sempurna,” beber pria yang berhasil menulis hingga 3.004 artikel sejak dia dudu di bangku SMP.
Masri yang mempunyai hobi tanaman hias dan ikan ini, selain full sebagai dosen di UMN, juga menjadi pembimbing kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik di SD Mater Dei Pamulang dan SMA Tarakanita Gading Serpong. Dia juga pernah jadi guru SMA Kolese St Yusuf Malang dan SMEA II Pontianak ini.
Meskipun ditugaskan di manapun, hobinya membaca dan menulis tidak pernah pudar. Dan hobi menulis buku pula yang mengantarkan menjadi orang yang berkecukupan, buktinya meski hanya karyawan (sebelum dosen UMN, dia bekerja di unit Grasindo Kompas Gramedia, Red), Masri berdomisili di kompleks perumahan cukup elite di Tangerang, yakni Palem Semi.

Minggu, 04 Juli 2010

Potensi Wisata Jangkang

Kecamatan Jangkang boleh jadi salah satu daerah di Kabupaten Sanggau yang paling banyak memiliki potensi wisata. Khususnya riam atau air terjun. Jika dikelola dengan baik dan benar, bukan mustahil Surga Wisata Jangkang terwujud.

MENELUSURI daerah-daerah di Jangkang, maka pesona alam gua dan air terjun akan gampang ditemui. Menjadi suatu pemandangan biasa. Sayang, potensi itu seolah diabaikan begitu saja. Tak ada yang ingin memaksimalkannya. Padahal, gemericik jernihnya air yang meluncur deras dari ketinggian, tentu menjadi pemandangan ajaib dan menarik. Khususnya bagi wisatawan, lokal mau pun manca yang menganggapnya karunia keindahan dari sang Khalik. Cukup banyak riam di Jangkang. Beberapa air terjun atau riam memesona yang dimiliki daerah ini adalah Riam Kunyuk di Dusun Parus Tanggung, Riam Berauh/Tibun di Desa Tanggung, Riam Tamai Bunga di Pisang sebagai yang terbesar, Riam Ransa di Empiyang. Kemudian masih ditambah denganOdong di Engkolay, Suwok di Jangkang Benua, Itu di Jangkang Benua, Rimo di Parus Tanggung, Kunyo di Engkolay, Korabun du Empoyu Empiyang dan Ceria di Ketori.

“Sayang jika tidak ada terobosan berarti untuk Kecamatan Jangkang. Potensi kekayaan alam yang yang ada akan terpendam, khususnya untuk permbangunan dunia pariwisata. Karena daerah ini memiliki banyak objek wisata alam yang sangat mempesona, yang sayangnya tak pernah tergali untuk diekplorasi,” ujar Arsenius Jitten, tokoh masyarakat dan pecinta lingkungan hidup Kecamatan Jangkang belum lama ini.Menurutnya Kecamatan Jangkang memiliki panorama alam yang sungguh memesona. Banyaknya air terjun yang dimiliki, tentu punya nilai jual tinggi. Untuk itu diringan mengaku sudah melakukan investegasi ke lapangan untuk mencari sumber-sumber alam itu, khususnya yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pusat pariwisata daerah. Karena, selain sumber air panas Sipatn Lotup yang terdapat di Desa Ape, juga ditemukan banyak lagi air terjun atau riam yang mempesona, serta asset alam lainnya yang berada di kawasan hutan lindung Gunung Bengkawan.
“Perlu program peningkatan perekonomian masyarakat pedesaan dan memperjuangkan mebnagunan sumber alam bagi tujuan kepariwisataan. Karena sejauh ini program yang bertujuan untuk menggali potensi kepariwisataan di Kecamatan Jangkang masih belum dirasakan. Padahal potensi yang dimiliki sangat menjanjikan dengan program yang jelas,” katanya.

Sumber Air Panas
Sumber air panas Sipatn Lotup di Kecamatan Jangkang menjadi salah satu Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) di Kabupaten Sanggau yangs angat langka. Namun sangat disayangkan, sejauh ini pemanfaatan dan pengelolaannya belum maksimal. Namun Camat Jengkang Joni Irwanto SIp mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan objek wisata adalah belum dilakukan penyediaan sarana prasarana akses transportasi ke lokasi pemadian air panas Sipatn Lotup. Misalnya sekitar 800 meter jalan menuju Sipatn Lotup masih belum diaspal, atau masih berupa jalan tanah. Menurut Joni untuk fasilitas seperti ruang ganti pakaian dan beberapa fasilitas penunjang lainnya memang sudah di bangun, namun masih kurang. Padahal, perlahan-lahan daerah ini mulai ramai dikunjungi oleh warga yang ingin berekreasi.
“Masalahnya saat ini adalah pada kewenangan pengelolaanya, pengelolaan parkir, keamanan dan kenyamanan dan penunjang lainnya,” kata Joni. Dikatakannya, setiap akhir pekan, baik Sabtu dan Minggu dan hari-hari libur seperti hari raya keagamaan dan tahun baru, kawasan ini selalu ramai dikungjungi oleh warga. Rata-rata setiap minggunya pengunjung yang datang ke sana mencapai 100 hingga 200 orang. Dikatakannya, karena belum terkelola dengan maksimal, ODTW tersebut belum dapat dijadikan sebagai salah satu objek wisata andalan daerah yang dapat memberikan sumbangsih bagi Pendapat Asli Daerah (PAD). Padahal. Menurut Joni kawasan tersebut jarang sekali sepi dari para pengunjung yang ingin berekreasi di sana.
Menurut Joni, sejauh ini tidak ada kewenangan yang jelas, apakah dikelola kabupaten, kecamatan atau desa. Padahal, jika sudah jelas kewenagannya jelas biaya parkir, tiket masuk ke sana akan memberikan dampak pada PAD kita. Lebih lanjut, Joni berharap pada pihak kabupaten dapat mempertegas pengelolaan ODTW tersebut, apakah dikelola oleh Kabupaten atau diserahkan pada pihak desa yang selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan asli desa (PADes). (*)
Sumber: Kapuas Post, Selasa, 06 April 2010 , 13:25:00
Belasan Riam Menggapai, Sayang Terabaikan
Melihat Eksotika Potensi Wisata Jangkang
Oleh: Sriwanto Winarno

Sanggar Bengkawan


Sanggar Bengkawan merupakan sanggar tari Dayak Jangkang yang berdiri sejak 1985. Sekitar 54 pemuda dan pemudi bergabung di sanggar ini. Pada pagelaran tunggal nanti mereka giliran menampilkan tarian mereka di pagelaran tunggal.