Kamis, 08 Juli 2010

Dayak Jangkang


Gambaran orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunters); hanyalah kenangan masa lalu. Labeling sebagai suku bangsa primitif dan sejumlah stereotype miring, tinggal cerita.
Dayak Jangkang adalah salah satu Land Dayak yang menuturkan dialek Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi "Djo" di kencah dunia linguistik ini masih, dan akan tetap, aksis.

Seiring modrenisasi dan pembangunan, etnis Dayak masuk dalam peradapan baru. Tua muda, laki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna, mobil, dan motor sudah jadi hal biasa bagi mereka. pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk, bahkan mempengaruhi, peradaban dan cara hidup mereka. Ini membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.

Diimbuni sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef van Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon. Institut v.d Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tetapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik mereka dalam Perang Manjang Desa, Filosofi di balik "Ngayau" dan tradisi "Mangkok Merah". Perjanjian "Tumbang Anoi" antara Dayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam pemilu 1955, serta mengupas tuntas akar dan sumber konflik eknik di Kalimantan Barat.

Inilah buku pertama yang membahas etnis Dayak dari pendekatan semiotika Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dan hubungannya dengan penanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Buku ini membatu siapa saja untuk memahami cara hidup dan cara berada etnis Dayak, selain memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar clash sosial, potensi konflik, dan pendekatan baru untuk mengatasinya.

2 komentar:

  1. dayak jangkang itu kejam satu ketika dulu kerana dayak jangkang adalah memakan daging manusia.

    BalasHapus
  2. Gelaran the head hunter bukanlah boleh diakui sembarangan oleh dayak dayak di indonesia, ini kerana gelaran '' the ead hunder '' adalah di berikan oleh sir james brooke yang menjajah sarawak malaysia lebih 100 tahun yang lalu dan tidak ada dari kalangan dayak dayak di indonesia yang boleh mengakui dirinya itu sebagai the head hunter dan gelaran itu diberikan oleh sir james brooke kepada suku bangsa iban (sea dayak ) yang ketika itu menentang penjajahan keluarga brooke yang menjadi penjajah di bumi sarawak. diketika itu wujud atau tidak dayak indonesia adalah tidak diketahui oleh orang barat dan pihak sepanish yang berlayar ke asia pula tidak ada menemui bangsa2 yang bercawat ini, terjadinya kenapa ada dayak indonesia itu adalah kerana pengakuan dari ( bangsa iban ) yang mengakui bahawa mereka berasal dari indonesia ( kapuas/danau majang )dan penemuan dayak indonesia oleh orang barat adalah selepas tahun 1930, malah pihak Dutch yang menjajah indonesia pun tiada rekod tentang adanya dayak di indonesia, oleh itu dayak indonesia yang mengelar diri mereka sebagai '' the head hunter '' adalah merupakan dayak bodoh yang tidak tahu asal usul diri dan juga pembohong besar.

    BalasHapus