Kamis, 08 Juli 2010

Dayak Jangkang


Gambaran orang Dayak bertelinga panjang berjuntai anting, bercawat, bersongket, makan sirih, tinggal di rumah panjang, pemburu kepala manusia (headhunters); hanyalah kenangan masa lalu. Labeling sebagai suku bangsa primitif dan sejumlah stereotype miring, tinggal cerita.
Dayak Jangkang adalah salah satu Land Dayak yang menuturkan dialek Bokidoh. Ditutur lebih dari 45.000 penduduk, bahasa dengan sandi "Djo" di kencah dunia linguistik ini masih, dan akan tetap, aksis.

Seiring modrenisasi dan pembangunan, etnis Dayak masuk dalam peradapan baru. Tua muda, laki maupun perempuan, anak-anak hingga dewasa; semua berperilaku dan ber-modus vivendi seperti layaknya manusia modern. Telepon seluler, antena parabola, kulkas, televisi berwarna, mobil, dan motor sudah jadi hal biasa bagi mereka. pendeknya, teknologi canggih dan informasi terkini dari penjuru dunia sudah merasuk, bahkan mempengaruhi, peradaban dan cara hidup mereka. Ini membuktikan bahwa etnis Dayak pun punya kemampuan adaptif untuk menghadapi perubahan zaman yang turbulen.

Diimbuni sejumlah gambar kuno zaman kolonial yang didapat dari Herman Jozef van Hulten, misionaris Belanda yang menginjakkan kaki di bumi Borneo tahun 1938, foto koleksi Kon. Institut v.d Tropen Amsterdam, Romer Museum Hildesheim, dan koleksi pribadi. Menjadikan buku ini bukan saja bernilai historis, tetapi juga sebuah studi komprehensif yang membahas kearifan lokal Dayak Jangkang hingga partisipasi politik mereka dalam Perang Manjang Desa, Filosofi di balik "Ngayau" dan tradisi "Mangkok Merah". Perjanjian "Tumbang Anoi" antara Dayak Borneo 22 Mei - 24 Juli 1894 di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah yang belum banyak diketahui publik, riak-riak politik Dayak dalam pemilu 1955, serta mengupas tuntas akar dan sumber konflik eknik di Kalimantan Barat.

Inilah buku pertama yang membahas etnis Dayak dari pendekatan semiotika Roland Barthes tentang bahasa dan mitos dan hubungannya dengan penanda (signifier) dan yang ditandakan (signified). Buku ini membatu siapa saja untuk memahami cara hidup dan cara berada etnis Dayak, selain memberikan perspektif baru tentang cross culture, akar clash sosial, potensi konflik, dan pendekatan baru untuk mengatasinya.

Senin, 05 Juli 2010

peresmian gereja St. Perawan Maria Diangkat ke Surga, Paroki Jangkang

Ditulis oleh Abdul Khoir/Sukardi Jumat, 21 Mei 2010

Membangun Masyarakat Mulai dari Iman


Membangun masyarakat mulai dengan keimanan adalah salah satu bentuk upaya suatu desa untuk mulai mandiri dalam memajukan daerahnya. Hal tersebut disampaikan Wakil Bupati Sanggau pada peresmian gereja St. Perawan Maria Diangkat ke Surga, Paroki Jangkang pada Sabtu, (15/5) belum lama ini. Wakil Bupati Sanggau Poulus Hadi, S.IP selaku pemerintah daerah telah menyambut baik terhadap keinginanan masyarakat untuk memiliki sebuah gereja dengan semangat swadaya masyarakat dan menumbuhkan semangat gotong royong.

Membangun desa perlunya perencanaan yang baik serta kerja sama antar masyarakat. Membangun desa yang maju dan mandiri merupakan keinginan bersama karna jika pemerintahan desa kuat maka pemerintahan daerah secara otomatis juga akan kuat hal lain mengenai pembangunan sumber daya manusia dan pembinaan iman serta melestarikan budaya adat.

“Pemerintah daerah dalam hal ini sangat mendukung dan mensuport agar SDM juga keimanan masyarakat semakin meningkat serta budaya adat tetap terlestarikan sepanjang masa,” ujar Wakil Bupati Sanggau.

Ditambahkan wakil Bupati bahwa pengertian gereja yang sebenarnya adalah para umat itu sendiri sedangkan bangunan gereja merupakan sarana tempat untuk berkomunikasi antara para umat dengan sang penciptanya. Selain rajin ke gereja umat juga harus mengalami kehadiran Tuhan dalam dirinya dan keluarganya dalam membina bahtera rumah tangga yang penuh cinta kasih dan harmonis, dan bukan dengan telah berdirinya sebuah bangunan geraje hanya menjadi symbolsaja tanpa dimanfaatkan.

Pemberkatan dan Peresmian Gereja oleh Uskup Sanggau Mgr.Julius
Mencuccini,Cp. Sedangkan pembukaan Plang Nama Gereja oleh Wakil Bupati
Sanggau Poulus hadi,S.IP dan pengguntingan pita gereja oleh Ny.Arita Apolina
Poulus Hadi. acara dihadiri oleh para pastor dan Suster, OMK, beberapa
kepala SKPD dilingkungan Pemerintahan Kabupaten, muspika kecamatan, tokoh
agama, adat, masyarakat serta para umat Kristiani Kecamatan Jangkang.

Uskup Sanggau Mgr. Julius Mencuccini, Cp menyampaikan dengan kehadiran gereja
agar dapat menumbuhakan iman para umat. Gereja yang berciri khas
budaya masyarakat setempat ini merupakan salah satu bentuk bahwa di Paroki
Jangkang iman masyarakat mulai bertumbuh dan diharapkan juga agar masyarakat
dapat menjaga serta memelihara tempat ibadah tersebut dan dapat menjadi batu
hidup di tengah masyarakat.

Camat Jangkang Joni Irwanto, S.IP mengatakan bahwa dengan kebersamaan kit
dapat membangun apa yang menjadikan keinginan kita bersama selain itu kita
juga harus dapat menjadi agen perubahan di daerah kita.

“Mengenai bangunan gereja yang telah diresmikan, itu menunjukan bahwa
kekompakan para umat kristiani untuk membangun diri dan keluarganya dibidang
rohani telah mulai bertumbuh dan untuk kedepan perlunya kita persatukan
pembangunan mental serta spiritual juga yang lainnya,” ujar Joni.

Kamang Grup

KAMANG adalah akronim dari Kumpulan Muda/i Jangkang (jangkang adalah nama kecamatan atau suku dayak yang berada di Kab. Sanggau Kalimatan Barat) yang didirikan oleh pemuda jangkang yang berada di pontianak. adapun Visi dari KAMANG adalah Wadah bagi muda/I dayak jangkang untuk mengembangkan diri menjadi pemuda yang kreatif, inovatif dan terdepan. awal dari pendirian kumpulan ini bermula dari acara kumpul-kumpul namun karena keinginan yang besar dari para pemuda untuk lebih mengembangkan diri maka terbentuklah KAMANG.
Penulis alfeus s. Lohin

Asal Usul Dayak Jangkang

Asal usul dayak jangkang tidak di ketahui secara persisis, namun berdasarkan cerita yang dituturkan oleh Simplisius Sim (ketua sanggar Bengkawan) dan C. Mara mengatakan bahwa suku dayak jangkang berasal dari tembawang tampun juah/rungkap tuba (terletak di kecamatan balai karangan kabupaten sanggau propinsi Kalimantan barat). Dahulu kehidupan masyarakat dayak terkenal ulung dalam berburu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Karena kegiatan ini dilakukan secara terus menerus sehingga binatang-binatang yang ada di sekeliling tempat tinggal mereka menjadi semakin punah dan sulit lagi untuk didapatkan. Melihat hal ini beberapa orang dari mereka mencari tempat buruan yang baru, dan hal ini terjadi secara terus menerus sehingga salah satu kelompok dari mereka ada yang sampai ke tembawang tayu yang terletak di kaki gunung begkawan yang sekarang menjadi kecamatan jangkang kabupaten sanggau. Di situ mereka melihat banyak hewan buruan namun daerah tersebut jauh dari kampung mereka sehingga sebagian dari mereka ada yang mengambil keputusan untuk menetap di situ dan membuat pondok di situ (setelah selang beberapa lama mereka kembali ke kampung untuk mengajak sanak keluarga dan orang kampung yang ingin pindah ke tempat yang baru) selain itu ada pula yang mengambil keputusan untuk mencari daerah lain.
Dari Tayu mereka pindah ke kobang dan dari kobang mereka pindah ke songokng namun di songokng mereka harus beradap tasi dengan hantu-hantu yang mendiami daerah tersebut. Namun karena dilanda musibah mereka lalu mengadakan ritual Bosinong (ritual meminta petunjuk untuk mencari daerah baru) dan dalam suatu petunjuk yang di dapat oleh seorang pemimpin ritual tersebut menunjukkan daerah yang sekarang menjadi kampong jangkang benua.
Dalam perkembangan berikutnya setelah lama menetap di situ (tembawang tayu), tempat-tempat di sekitar tempat timggal mereka rata-rata sudah pernah di ladangi membuat beberapa orang dari mereka yang berinisiatif mencari tempat lain untuk berladang sehingga menyebarlah mereka. Di daerah baru yang mereka dapati tersebut mereka buat pondok untuk bermalam (melaman: buat pondok di ladang dan tinggal di sana dalam selang beberapa hari mereka pulang ke kampung dan setelah itu kembali lagi untuk tinggal di ladang) karena tempat tersebut jauh dari kampung dan beberapa hari sekali mereka pulang ke kampung. Karena melihat ada keluarga yang buat pondok di ladang maka ada juaga yang mau ikut sehingga lama-lama menjadi sebuah kampung. Diantaranya adalah kampung kobang (sebelum mendiami kampung kobang mereka terlebih dahulu tinggal di songokng sekarang sudah menjadi hutan) dan dari kampung kobang mereka pindah ke jangkang dan ketori. Awalnya mereka tinggal melaman (mondok di ladang/buat pondok di ladang) namun lambat laun semakin banyak dan menjadi sebuah kampung. Dari kampung yang ada tersebut mereka lalu menyebar ke berbagai daerah di kecamatan jangkang, kecamatan mukok, dan sebagian di kecamatan bonti dan kecamatan kapuas kabupaten sanggau. Dan nama jangkang mereka ambil dari nama sungai yang melinatsi kampng jangkang saat ini. Dan dari situlah asal muasal dayak jangkang.
Ditulis oleh alfeus s. Lohin

Pengalaman Pak Asep Haryono bersama SB

Dudulnya mungkin banyak yang pada terhenyak. Kagak saleh ni penari Dayak?. Ya benar memang saya (dulu) mantan penari Dayak. Nah nah mungkin pada nda percaya ya. Ya tapi inilah kenyataan.

Bermula dari ajakan teman saya satu Kampus yang bernama Ateng. Dia satu mata kuliah dulu di FKIP Untan jurusan Bahasa Inggris sekitar tahun 1990 an. Dia senang begitu melihat betapa antusiasnya saya waktu itu melihat setiap ada acara Gawai Dayak atau kegiatan seni tari yang dipentaskan di rumah Adat Betang Jl.Sutoyo itu. Ateng menawarkan saya untuk bergabung saja sebagai salah satu penari di Sanggarnya. Dari sinilah bermula cerita itu berawal. Saya resmi diterima sebagai salah satu penari muda (Junior) Sanggar Bengkawan, Dayak Jangkang Sanggau pimpinan Drs.Simplisius pada tahun 1991. Jadual latihan 1 kali dalam seminggu setiap jam 4 sore hingga selesai.

Penampilan saya yang perdana sekali, dan saya merasa senang sekali turut tampil dalam kegiatan kalender Kepariwisataan Kalimantan Barat FBBK ( Festibal Bumi Budaya Khatulistiwa) pada tahun 1993 kalaw nda salah. Wih senangnya bergabung dengan para senior lainnya. Sekarang saya sudah tidak aktif lagi karena kesibukan pekerjaan dan lain sebagainya yang tidak dapat saya ceritakan secara detil di halaman ini. Kenangan (pernah) menjadi penari Dayak mewarnai perjalanan hidup saya di Kalimantan Barat. Saya sengat senang sekali. Namun seiring dengan berjalannya sang waktu, dan saya sekarang sudah tidak lagi aktif di sanggar milik Pak Simplisius itu. Namun sesekali saya melewati Rumah Adat Betang yang terletak di Jalan Soetoyo itu. Saya seringh berjumpa dengan senior saya, Bang ODO dan Bang Christian Mara (Bang Mara). Mereka pemusik, penabuh yang hebat yang saya kenal dari Sanggar Bengkawan ini. Mereka baik dan ramah. Saya senang


Bagi rekan rekan yang pernah aktif di Sanggar BENGKAWAN pimpinan bapak Drs.Simplisius, semoga tulisan ini bisa menjadi ajang kangen dan silaturahmi kita. Apa kabar kalian semua?. Saya baik baik saja.


Kesan saya yang beberapa lama berada di Komunitas Masyarakat Dayak sangat berkesan. Dari sini saya tau bahwa kelompok masyarakat Suku Dayak sangat menjunjung tinggi kekeluargaan , kebersamaan dan sangat menghargai privasi dan integritas suku lain di Kalimantan Barat. Orang Dayak tidak usil , tidak pencemburu sosial , dan sangat loyal dengan apa yang bernama persahabatan. Saya sedikit tahu karena saya pernah tinggal dan bersosialisasi dikomunitas ini.


Sampai sekarang kenangan itu akan selalu membekas di hati, Dan setiap kali saya lewat di depan rumah Adat di Jl.Sutoyo itu selalu saya sempatkan mampir sekedar say Hi ataw mengobrol dengan para pengurus sanggar yang tetap terbina dengan baik.

Domisili Dayak Jangkang

Dayak jangkang adalah salah satu suku dayak di kabupaten sanggau yang wilayah penyebaran dan pendudukanya cukup banyak, hampir sebanding dengan dayak mualang di kabupaten sekadau dan dayak hibun di kabupaten sanggau, suku yang umunya bermukim di bagian utara kabupaten sanggau tepatnya di empat kecamatan yaitu Kec. Jangkang, Kec. Mukok dan sebagian Kec. Bonti dan kec. kapuas adalah basis dari Suku Dayak Jangkang ini. Selain itu mereka juga bermukim di antara 2 sungai besar, yaitu sungai sekayam dan sungai mengkiang (anak sungai sekayam) dan juga tersebar di beberapa daerah sungai kecil salah satunya termasuk sungai jangkang yang terdapat di kampunag jangkang benua .
sekarang orang jangkang sudah menyebar ke berbagai penjuru di indonesia diantaranya ada yang di pontianak. Di pontianak jumlah orang jangkang yang menetap di kota katulistiwa ini setiap tahunnya bertambah, baik dari kalangan mahasiswa yang ingin kuliah maupun yang ingin mencari kerja. Sehingga jika dikumpukan orang jangkang yang ada di pontianak hingga saat ini bisa menjadi satu kampung atau dua kampung.
Ada beberapa ahli yang sempat meneliti tentang suku daya ini Tapi, tak satupun yang otentik dan menyangkut seluruh sendi kehidupan masyarakat Suku Dayak Jangkang.
Ditulis oleh alfeus s. Lohin di 13:35 0 komentar

Dayak Jangkang Kalimantan Barat

Upacara tradisional yang berkaitan dengan Pertanian dan Kepercayaan, menurut masyarakat pendukung adat dan menurut masyarakat Dayak Jangkang di Kabupaten Sanggau yang dalam penelitian ini ternyata sampai sekarang masih dipergunakan kelestariannya, karena didalamnya masih banyak mengandung pengertian dan pemahaman nilai-nilai serta gagasan-gagasan vital dalam rangka pembinaan sosial budaya terhadap anggota masyarakat setempat. Masyarakat Dayak Jangkang yang terletak di Kabupaten Sanggau di Kecamatan Jangkang di Provinsi Kalimantan Barat yang pada saat ini masih melakukan Upacara Pertanian dan Kepercayaan.
Dari hasil wawancara dan informasi yang didapat oleh penulis di Kecamatan Jangkang yang terletak di Balai Sebut ternyata Upacacara Pertanian dan Kepercayaan di dalamnya banyak mengandung petunjuk-petunjuk yang penyampainnya masih, masih melalui symbol-simbol atau lambang-lambang yang berbentuk sesajen. Petunjuk-petunjuk yang masih tersimpan ini masih banyak belum diketahui selain bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian agar supaya hal tersebut dapat diketahui oleh pihak lain atau masyarakat luas, maka oleh sebab itu masyarakat selain pendukung upacara itu dapat memahaminya supaya tidak terjadi kesalah pahaman diantara masyarakat luas ( masyarakat yang ingin memahaminya atau mempelajarinya).
Ada beberapa unsure-unsur Upacara Pertanian dan Kepercayaan yang dapat kita kaji bersama untuk melestarikan tradisi yang erat kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat.
Nilai budaya yang berfunsi sebagai pedoman tertinggi, bagi kelakuan manusia yang meliputi norma-norma atau kaidah-kaidah.
Upacara tradisional Pertanian dan kepercayaan dalam penyelenggaraannya dapat dilakukan beberapa macam hal yaitu :

1. Nilai Upacara
2. Fungsi Upacara
3. Perubahan-perubahan yang terjadi
4. Pandagan masyarakat sekitarnya terhadap upacara tersebut.


4.1 Nilai Upacara
Nilai adalah sesuatu yang berhsrga, berguna, indah dan dapat memperkaya batin serta dapat menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Niali bersumber pada budi yang berfungsi mendorong mengarahkan sikap dan prilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan disamping sistem sosial dan karya. Nilai dapat dihayati atau diresapi dalam konteks kebudayaan atau sebagai kebudayaan yang absrak. Oleh sebab itu nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.
Nilai berada dalam kata hati murni. Kata hati dan pikiran suatu keyakinan kepercayaan yang bersumber dari dari berbagai sistem nilai seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (1982) bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena itu suatu sitem nilai budaya biasanya sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Sistem budaya seoleh-oleh berada di luar dari di atas diri pada individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu lama berakar dalam atau jiwa mereka.
Masyarakat Suku Dayak Jangkang yang tinggal di Kecamatan Jangkang dalam melaksanakan Upacara Tradisional Pertanian dan Kepercayaan banyak mendandung nilai-nilai positip yang erat kaitannya dengan kehidupa masyarakat. Nilai positip yang dapat diambil hikmah dari penyelenggaraan ini antara lain :

4.1.1. .Nilai Religi
Upacara Tradisional Kiatannya dengan Pertanian dan Kercayaan di Kabupaten Sanggau adalah suatu kegiatan ritual diseputar kegiatan dari perladangan sampai kegiatan panen yang diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang. Menurut Kepercayaan masyarakat Jangkang bahwa untuk melakukan kegiatan perladangan sampai dengan kegiatan panen tidak dapat begitu saja dikerjakan namun perlu adanya upacara-upacara ritual. Upacara-upacacara ritual tersebut memerlukan waktu bagi masyarakat petani untuk merefleksikan kegiatan yang sudah lalu dihubungkan dengan kebesaran Sang Pencipta bagi masyarakat Dayak Jangkang menyebutnya PONOPA.
Tujuan upacara membuka perladangan bagi masyarakat Dayak Jangkang adalah supaya tanah yang dikerjakan dapat berhasil atau mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa “ AKE PONOPA “ ( Tuhan ). Sedangkan upacara panen (Gawai) bagi masyarakat Dayak Jangkang adalah sebagai Upacara syukur kepada Sang Pencipta (Tuhan) atas hasil pertanian yang telah diperoleh.
Adapun nilai religis yang terkandung dalam upacara tersebut mengambarkan bagaimana masyarakat Dayak Jangkang yang ada di Kecamatan Jangkang menempatkan Sang Pencipta (PONOPA) sebagai pusat dalam pengaturan kehidupan masyarakat Dayak Jangkang. Jadi di sini tampak jelas menurut kepercayaan masyarakat Dayak Jangkang bahwa segala apa saja yang dimulai sampai dengan memperoleh hasil atas karunia PONOPA harus mentaati tatanan adat yang telah berlaku.
Nilai religis ini terlihatlah dari adanya anggapan masyarakat Dayak Jangkang bilamana tanaman yang ditanam pertamakai tujuannya adalah agar supaya hasil pertanian yang diperoleh akan melimpah ruah dan tanaman pertanian itu tidak mendapat gangguan dari hama penyakit. Sedangkan upacara gawai (pesta padi) ini dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan maka niscaya akan mendatangkan suatu petaka.
Maksud dari malapetaka adalah menurut kepercayaan masyarakat Dayak jangkang adalah tidak akan mendapatkan rejeki atau hasil yang diperoleh tidak diberkati..
Oleh karena itu di dalam upacara pertanian dari mulai penanaman padi sampai dengan pesta hal ini merupakan tanggung jawab moral keluarga kepada (PONOPA) (Sang Pencipta) . Aspek lain dari adanya nilai relegius yang terdapat pada upacara Gawai dalam masyarakat di Kecamatan Jangkang sebagai upacara syukur untuk memenfatkan kembali hasil yang sudah disimpan. Oleh sebab itu upacara gawai merupakan inti dalam kepercayaan tradisi Gawai.

4.1.2. Nilai Kerjasama
Salah satu nilai budaya yang terkan upacara tradisional peneneman padi dan kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang adanya kerjasama diantara anggota masyarakat yang secara kerjasama bahu membagu saling kerjasama poses perladangan (penanaman padi dan upacara Gawai).

Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya nilai budaya yang berjudul Masalah-masalah pembangunan menyebutkan nilai budaya yang perlu dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai syarat pembengunan adalah nilai budaya yang mampu menanggulagi tekanan-tekanan berat berserta masalah-masalah yang ada dalam lingkungan ekonomi dan sosial budaya. Salah satu nilai budaya itu yang merupakan konsep pemerincian dan gotong royon adalah konsep yang menggap penting adanya sikap dan kepekaan untuk tidak berbuat semena-mena terhadap sesama manusia.
Nilai budaya ini menurut beliau penting untuk menanggulangi tekanan masalah kehidupan masa kini karena memungkinkan orang berkerjasama dengan sesamanya dan juga kepada bangsa lain.
Selanjutnya mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik manusia mustahil dapat mutlak berdiri sendiri tanpa bantauan dan kerjasama dengan orang lain. Kerjasama ini menimbulkan kesadaran bahwa segala yang dicapai dari kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia pada dasarnya adalah berkat bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat. Kesadaran yang demikian selanjutnya melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia dipanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik bagi orang lain dari masyarakatnya.
Semangat itu melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan keserasian dan kesinambungan dalam hubungan sosial manusia pribadi dan masyarakat perlu kerjasama.
4.1.3. Nilai Gotong Royong
Manusia adalah mahluk sosial hidup di tengah-tengah masyarakat lainnya, sehingga mereka mengembangkan bentuk kerjasama bersamanya. Mereka juga menyadari bahwa suatu pekerjaan akan terasa ringgan apabila dikerjakan bersama-sama secara bergotong royong.
Pada penyelenggaraan Upacara Pertanian dan kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang di Kabupaten Sangau dapat dilihat bentuk kerjasama dapat dilihat dalam bentuk gotong royong seperti yang dilakukan di ladang biasanya dikerjakan secara gotong royong antara keluarga petani misalnya pekerjaaan menebas dilaksanakan terlebih dahulu diareal lading kepunyaan si A setelah selesai baru mengerjakan ladang kepunyaan si B secara bergotong royong dapat dilihat pada upacara Gawai yaitu seperti menyiapkan alat-alat kesenian, mengatur dan menata tempat penyelengaraan upacara.
Begitu juga pada seksi komsumsi ada yang belanja ada yang memasak dan ada juga yang menyiapkan sesajenan dan sebagainya. Pada tahap pemotongan babi ada yang menyembelih/memotong.
Semua pekerjaan dikerjakan secara bergotong royong pada masyarakat setempat.

4.2 Fungsi Upacara
Budhisantoso berpendapat bahwa upacara tradisional yang terdapat pada masyarakat pendukungnya mengandung empat Fungsi yaitu : a. Norma Sosial
b. Pengendalian Sosial C. Media Sosial d. Pengelompokan Sosial.


4.2.1 Norma Sosial
Fungsi norma sosisl dalam upacara tradisional da;lam upacara pertanian dapat dilihat dari simbol-simbol yang bermakna positip dan mengandung nilai-nilai atau norma-norma sosial yang dialami sebenarnya oleh masyarakat pendukung. Simbol-simbol tersebut biasanya terdapat pada sesajen yang telah dipersiapkan . Nilai aturan terdapat pada sesajen yang dipersiapkan. Nilai aturan dan norma-norma ini tidak hanya berfunsi untuk mengetur perilaku antara individu dan masyarakat tetapi juga mengatur hubungan manusia dangan alam lingkungan, terutama pada sesuatu hubungan manusia dengan Tuhan.
Di dalam norma atau nilai sosial yang terdapat dalam suatu upacara-upacara tradisional dengan mencerminkan asumsi apa yang baik dan boleh dilakukan dan apa saja yang tidak baik bagi yang tidak boleh dilakukan sehinga norma-norma dan nilai-nilai dapat dipakai sebagai pengendalian sosial dan pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukung upacara tradisional ini. Hal ini juga berhubungan dengan upacara Pertanian dan kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang di Kecamatan Jangkang kabupaten Sanggau.

4.2.2 Fungsi Media Sosial.
Funsi media sosial adalah sebagai obyek sikap sosial yang menghubungkan masa lampau dengan masa sekarang yang terdapat pada upacara Pertanian dan Kepercayaan pada masyarakat Dayak Jangkang.
Upacara ini dapat dipakai untuk merekonstruksikan apa dan bagaimana yang dilakukan pada leluhurnya pada saat ini.
Upacara tradisional merupakan sarana yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan hubungan sosial atau kontak sosial diantara warga masyarakat setempat. Adapun hubungan diantaranya adalah adanya pengumpulan dana untuk keperluan melaksanakan upacara. Dengan memotong babi, ayam, kerja bakti dan sebagainya.

4.2.3 Fungsi Pengelompokan Sosial
Banyaknya masyarakat yang menyaksikan jalanya upacara yang berlangsung yaitu awal upacara sampai selesai jalannya upcara. Hal ini terlihat adanya hubungan masyarakat dengan masyarakat yang lain untuk dapat berkumpul dalam kegiatan upacara yang dilaksanakan. Ada juga yang sejumlah masyarakat yag berkerja di luar daerah atau sudah menetap di daerah lain atau sedang bersekolah di Kota pada upacara Pertanian dan Kepercayaan ini, dengan menyempatkan diri untuk untuk pulang ketempatnya untuk mengikuti aturan sekedar untuk menyaksikan jalanya upacara yang diadakan satu tahunnya satu kali. Dengan melakukan upacara ini masyarakat dapat berkumpul dengan saudara dan teman-temannya.

4.3 Perubahan Yang Terjadi
Upacara Tradisional yang berkaitan dengan Pertanian dan Kepercayaan yang dilaksanakan secara turun-temurun yag dilaksanakan oleh para leluhurnya. Apa dan bagimana yang sudah bias dilakukan oleh generasi pendahulunya sebelumnya/nenek moyang seperti itulah yang dilaksanakan sekarang ini baik cara membuka hutan, penanaman padi sampai dengan Upacara Gawai. Semua itu masih tetap dipertahankan keasliannya tidak ada salah satu unsure pun yang dikurangi. Ada juga perubahan-perubahan yang terjadi adalah perubahan ke arah yang positip dan ini tidak mengubah inti dari tata cara dari seluruh rangkaian upacara tersebut. Perubahan yang dapat dilihat di sini umumnya dalam pergelaran kesenian dulunya tidak ada tari-tarian sekarang kadang-kadang menurut kondisi keuangan yang ada/memingkinkan akan dilaksanakan Seandainya apabila kondisi keuanan tidak mencukupi maka tambahan kesenian atau musik itu juga tidak dilaksanakan, akan tetapi di;aksanakan secara sederhana tidak dihilangkan upacara tersebut.

4.4 Pandangan Masyarakat Sekitar Terhadap Penyelenggaraan Upacara.
Masyarakat Dayak Jangkang sebagai pendukung dalam Upacara Tradisional Kaitan dengan Pertanian dan Kepercayaan di Kabupaten Sanggau adalah masyarakat Dayak yang tinggal di Balai Sebut, kemudian masyarakat juga masyarakat pendatang yang berasal dari Padang.Jawa ada juga dari Suku Melayu , Masyarakat suku pendatang mereka setelah diwawancarai tentang pandangan mereka tentang penyelenggaraan Upacara tradisional Kaitannya dengan Pertanian ini rata-rata mereka menyambut baik dan tidak bertentangan dengan adat mereka. Salah satu informan dari Suku Melayu mengatakan bahwa upacara semacam ini memang perlu dilestarikan karena maksud dan tujuannya adalah tidak bertentangan dengan agama meskipun di dalam agama Islam tidak mengenal sesajen-sesajen seperti disiapkan dalam Upacara ini.
Kemudian juga diwawancarai informasi dari Suku Padang mereka memandang bahwa penyelenggaraan Upacara Tradisional Kaitannya dengan Pertanian dan Kepercayaan ini baik dilaksanakan karena di dalamnya mengandung nilai-nilai yang luhur seperti goton royong dan kebersamaan yang tinggi sepeti yang dimiliki oleh bangsa Indonesia pada umumnya. Bagi mereka adat dipandang paling penting.
Kecuali pandangan dari ke dua infoman dari ke dua suku tersebut ada lagi pendatang dari Jawa yang mengatakan bahwa warganya juga setiap tahunnya mengikuti Upacara Tradisional Kaitannya dengan Pertanian, tetapi hanya berupa pesta dan diselenggarakan setelah (selasai) panen. Dari hasil wawancara dengan mereka bahwa mereka mengatakan upacara semacam ini memang harus dipertahankan. Beliau juga sangat suka/senang atas penyelenggaraan Upacara ini. Baik sebagai undangan secara pribadi, dia juga menunggu-nunggu Undangan apabila sudah mengetahui adat upacara ini, tetapi diundang juga sebaliknya. Apabila sudah lupa juga mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan para pejabat atau intasi yang terkait di desa Balai Sebut.
Dari hasil wawancara kepada beberapa informan dan keluarganya yang tinggal di Balai Sebut dia dan keluarganya tinggal di Balai Sebut sudah kurang lebih 30 tahun dan berdagang seluruh kebutuhan rumah tangga dan juga mempunyai warung makan (rumah makan) penginapan dan jasa transotasi atara desa ke Kembayan . Setelah diwawancarai tentang penyelenggaraan Upacara Gawai tersebut ia sangat menyambut baik sekali. Meskipun mereka tidak ikut dalam pelaksanaan tersebut. Bagi mereka upacara ini adalah kegiatan kampung, sebgai warga kampung/ desa yang baik , mereka juga mempunyai kesadaran dan merasa berkewajiban untuk berpartisipasi atas kelancaran kerja desa tersebut.
Dari hasilwawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekitar Desa balai Sebut yang bukan pendukung Upacara Tradisional Pertanian dan Kepercayaan ini menyambut baik dengan dilaksanakan dan dilestarikan karena upacara ini merupakan adat dan budaya luhur nenek moyang yang perlu dilestarikan/ dipertahankan oleh generasi penerusnya.
Penulis: M. Nasir, S. Sos, M. Si